Jumat, 20 Juli 2012

The Little Einstein's in Adventure in the Seabed Center


Aku menatap luasnya Samudera
Yang berliter – liter volume airnya
Debur ombaknya yang tenang, membuatku nyaman
Seakan aku sedang bersantai di tengah negeri khayalan
                       
Tiba – tiba badai datang,
                        Memusnahkan semua yang dapat hilang
                        Badai itu tidak bersahabat
                        Semua keselamatan telah ia angkat

Ombak menjulang tinggi ke permukaan
Menyembur kedermaga tepian
Guntur panjang mengancam para pelautnya
Disertai kilat mautnya
                       
                        Para bangsa Avym, sang kaum peramal,
                        Meramalkan para Meryl  segera datang
                        Tak ada yang bisa meyangkal
                        Terkecuali Alicia Jhane yang sedang bimbang

Senyum nakal muncul dari wajah Alexander Albert,
Sebuah ide muncul dari benak Carlos Corllod yang jenius,
Segudang pertanyaan menunggu dijawab oleh Raymond Ritscooter,
Semua strategi berasal dari William Wavreey yang misterius.



Bagian 1
Bersembunyi Dalam Kegelapan
¤Kenalan Yang Terlupa ¤
Alicia
P
agi ini, sekitar jam 9 kami masih berada di toko olahraga. Aku sudah memaksa mereka berempat untuk pulang, dengan alasan ada kegiatan liburan musim panas lain yang harus kami lakukan. Tapi, sejak awal aku memaksa untuk pulang, mereka berkata, “Sabarlah – Tunggu saja sebentar.” Jawab Will ketika kutarik – tarik tangannya. Aku benar – benar ingin keluar dari toko ini. Alasannya, aku tak suka olahraga, bahkan, nilai – nilai olahragaku pun di sekolah sangat terancam keberadaannya. Dan juga karena toko ini pengap sekali. Aku heran, para penjaga toko itu memangnya tidak pengap? Aku saja yang baru 2 jam di sini sudah ingin mati. Tunggu sebentar, 2 jam? Mereka keterlalulan! Sudah 2 jam dan tidak mau pulang? Hei, saat aku ke toko buku saja hanya bertahan 15 menit!
            “Hei! Sudahlah, lupakan benda itu dan ayo kita keluar sekarang!” seruku sambil menarik–paksa mereka berempat.
            “Hei, bisakah kau tenang sedikit? Kau ini berisik sekali dari tadi!” Carlos mengelak dari tarikanku.
            Berisik sekali katanya?
            “Kau ini, cobalah untuk tidak bersikap kekanak – kanakan!” tambah Alex.
            Hei, kekanak – kanakan katanya? Harusnya aku yang bilang begitu padanya! Sedari tadi kulihat matanya berkilauan saat menatap gantungan kunci tas bola voli! Memalukan!
            “Tapi ini sudah jam 9! Jangan bilang kalian lupa waktu hanya karena benda – benda yang mungkin tak berguna itu!” aku menyolot.
            “Tak berguna katamu?!”
            “Mungkin. Karena kalian hanya melihat benda – benda yang berukuran kecil yang tidak lebih dari seekor kelinci! Berputar mengelilingi meja ini! Terus dan terus!” Rasanya aku benar – benar mau meledak. Mereka hanya melihat benda – benda yang berukuran kecil sedari tadi! Bukan benda asli yang bisa digunakan dalam olahraga!
            “Dia benar” ujar Will. “Kita hanya melihat benda yang berukuran kecil saja.” Tampaknya mereka telah mulai mengerti. “Harusnya dari tadi kita melihat – lihat yang itu.” Tunjuk Will kepada ruangan yang lain, yang berisi beberapa alat olahraga–dengan ukuran asli. Tunggu, maksudnya…mereka ke tempat itu sekarang?
            Keterlaluan.
            Aku cepat – cepat mencegat mereka. “Dengar, aku akan keluar dari toko ini sekarang juga. Carilah aku di kedai es krim di dekat tikungan. Jika tidak ada, carilah aku di toko buku dekat tempat bermain, dan jika tidak ada juga, jangan sekali – kali kalian ganggu istirahatku.” Ucapku ketus dan mereka berjalan lagi seraya tak memperdulikanku.
            Akhirnya aku keluar dari ruangan pengap itu. Terik matahari menyerangku dengan senjata musim panasnya. Sekeliling jadi terlihat silau, jadi aku berjalan sambil memicingkan mataku. Oh ya, aku belum memperkenalkan diri. Karena terlalu sibuk memaksa empat orang itu.
            Aku Chaterine Alicia Jhane. Kau dapat memanggilku Alice atau Alicia. Umurku 12 tahun dan kelas delapan. Aku satu – satunya perempuan dalam, oh–maksudku…sudahlah, dalam grup ini. Grup kami ini semacam grup petualang atau detektif. Kau tahu? Rasanya menyebalkan saat mengerjakan kasus bersama empat orang itu.
            Kedai es krim itu semakin dekat di mataku.
Kulanjutkan, empat orang bodoh itu–sebenarnya mereka tak bodoh, Alexander Albert. Kau dapat memanggilnya Alex, umurnya 13 tahun. Dia orang paling menyebalkan yang sejauh ini kutemui. Lalu Carlos Corllod, Carlos, umurnya sama dengan Alex. Walaupun kutahu dia tak terlalu menyebalkan, tapi aku paling tak suka jika ia, Alex dan Will bergabung untuk menjahili orang. Selanjutnya Raymond Ritscooter. Panggilannya Ray. Umurnya 13 tahun. Dia orang paling pintar sekaligus pendiam dan cuek dalam grup ataupun sekolah kami. Kacamata dan buku fisika adalah hal yang tak bisa lepas darinya. Terakhir Will, Williams Wavreey. Atau kau bisa panggil Bill. Ia ketua sekaligus orang yang paling tua dalam grup kami. Umurnya sebenarnya 14 tahun dan tahun ini naik ke kelas Sembilan. Cuma dia yang tidak satu kelas dengan kami.
Dan aku sampai di kedai itu. Kudorong pintunya. Udara AC menerpa diriku. Sejuk rasanya terkena udara seperti ini di musim panas. Aku duduk di kursi yang paling jauh dengan pintu, tetapi dekat dengan dapur. Maksudku, agar pesananku sampai lebih cepat.
Salah satu pelayan kedai ini datang ke mejaku. Ia tersenyum dan memberikan buku menu padaku. Dan aku sudah siap untuk membuka buku yang berisi puluhan macam es krim itu.
Rasanya aku membeku setelah melihat menu ini sampai halaman 5. Aku mengamati menu itu lama sekali. Sampai aku menyadari bahwa pelayan yang lain memperhatikanku dengan mimik yang tidak kusukai. Jika benar – benar aku yang dia maksud.
Akhirnya, setelah banyak pilihan, aku memesan Pancake Waffle Sundaes Strawberry. Dengan 2 lapis pancake juga sebuah waffle lembut yang dibalut dengan es krim vanilla dan disiram dengan saus strawberry. Lalu beberapa potong buah strawberry disajikan didalam lubang – lubang waffle. Juga ada dua stik wafer isi krim strawberry. Lalu taburan almond, diatas 2 scoop es krim vanilla bersiram saus strawberry itu, dan asiknya…dalam sensasi dingin! Benar – benar hal yang menggembirakan dalam musim panas!
Biar kulanjutkan lagi pengenalannya. Empat orang itu sama – sama berambut pirang. Cara membedakannya, untuk Alex, bermata biru dan sebenarnya tidak gemuk, tapi takkan ada yang bilang dia kurus. Lalu Carlos, bermata hijau dan agak kurus. Ray, dia yang paling bisa dibedakan. Karena kacamatanya. Dan Will, dia yang paling tinggi.
Dan kulanjutkan nanti, karena pesananku telah datang! WOW!
            Aku melahap semuanya dalam 15 menit. Sampai saat ini pun mereka berempat belum kemari. Entah masih di tempat tadi itu atau sudah pulang. Butuh sedikit waktu bagiku di kedai itu. Yah, aku benar – benar suka es krim. Tapi brownies kukus Tiramisu jauh lebih menggiurkan. Hmm…ah…kenapa jadi ini yang kubicarakan?
            Banyak anak kecil berlarian di jalanku. Tapi tentu saja, ini kan daerah dekat taman bermain, dan toko buku itu yang menjadi incaranku.
            Aku membuka pintunya. Toko ini tak terlalu besar, tapi aku bisa betah berjam – jam di sini–jika tak ada mereka berempat–, karena semua buku yang kusuka ada di sini! Juga ada beberapa alat menggambar.
            Seperti biasa, aku mematung di bagian novel fantasi. Banyak buku baru yang terbit! Tapi tak lama dari itu, aku melihat beberapa pelanggan masuk. Oh-ternyata mereka berempat.
            Mengapa mereka datang di saat aku sedang asyik?!
            Tak usah ditanya mereka melihat rak buku apa, tapi setiap kali aku ke toko buku bersama mereka, mereka hanya mengganggu ketenanganku. Terutama Alex.
            “Hei, dasar kutu buku! Kau bilang kau di kedai es krim?!” seru Alex.
            “Kau tak dengar selanjutnya?” jawabku. “Jika aku tak ada di kedai itu, maka aku ke toko buku, dan jika tak ada juga, berarti aku pulang!”
            “Oh, yah–es krim, buku, tidur.” kata Alex sambil melirikku. “Itu yang kau lakukan selama libur musim panas, bukan?”
            “Apa? Keterlaluan! Aku tak separah itu!”
            “Yah–tapi kau lebih parah dari itu!” seru Alex kemudian tertawa – tawa dengan apa yang dikatakannya barusan.
            “Tak lucu.” gumamku.
            “Hei–aku…”
            Tiba – tiba Alex tertawa memotong ucapan Carlos.
            “Argh…kau ini! Ada apa, sih? Jangan tertawa di telingaku, Alex!” seruku.
            “Ah–Carlos! Kau jadi penggemar Sinbad si Pelaut?” tanya Alex. Lalu tertawa lagi.
            Yah, Carlos memang sedang menggenggam buku Sinbad The Sailor.
            “Bukan!!” seru Carlos. Alex masih tertawa. “Aku jadi ingat seorang pelaut yang pernah kita kenal.”
            “Uhh~Kau ini, terlalu banyak yang kau ingat, Carlos!” seru Alex tak masuk akal.
            Apa salahnya jika banyak yang diingat?
            “Oh, maksudmu pelaut yang dulu pernah menawarkan kita untuk meminjam beberapa perahunya itu?” tanya Ray yang matanya masih menatap buku fisikanya.
            “Ah, yang memiliki nama seperti Frankestein itu, kan?” sembur Alex.
            “Kau ini terlalu bodoh, tak usah ikut bicara jika benar – benar tak tahu!” sahutku.
“Tapi aku tahu!” balas Alex. Dan aku tak mau menanggapinya lagi.
***

Jumat, 16 Maret 2012

Hauntmare : A House in the Time Dimention

HauntMare 1

A House in the Time Dimention 

Dalam keremangan penuh arti
Aku merasakan semua ini
Antara realita dan mimpi
Yang bahkan tak bisa kujagai                   Untaian pita merah melamban
Menerangi ruangan penuh erangan
Dengan semua kekejaman
Yang terperangkap dalam kegelapan
Hati – hati dengan bayanganmu
Karena itu yang akan membunuhmu
Sebuah monster yang sangat tabu
Yang bangkit dari yang telah lalu              Janganlah kau abaikan yang di bawah
                                                Karena itu adalah sebuah kawah
                                                Yang penuh dengan amarah
                                                Atau disebut Lorong Bawah Tanah…


One
Chaterine Alicia Jhane
Sedikit tentang Alicia

Nama Lengkap             : Chaterine Alicia Jhane
Nama Panggilan           : Alicia/Alice
Lahir                              : New York, 24 Februari 2000
Saudara                         : -
Hobi                               : Menggambar, membuat cerita,
membaca, menghayal, mendengarkan musik,
ice skating, badminton dan banyak lagi
Makanan favorit           : Apa saja yang berasa Tiramisu
Minuman favorit          : Juice Alpukat
Warna favorit                : HIjau
Angka favorit               : 2
Pelajaran favorit            : Sains dan Matematika
Kutipan favorit             : Jadilah Raja Dalam Dirimu Sendiri
***
A
ku menatap keluar jendela. Menghitung tetes – tetes hujan yang turun. Sambil mengamati kilat lalu gunturnya. Aku memikirkan, bahwa mereka gila, oh-tidak, bukan, bukan soal hujan dan guntur ataupun kilat, tapi mereka-keempat sahabatku. Alex, Carlos, Ray dan Will. Bayangkan saja, dengan cuaca tak menentu seperti ini, mereka malah mengajak pergi ke suatu tempat. Akan lebih baik jika itu adalah piknik. Tapi bukan. Itu bukan piknik. Melainkan menginap di sebuah rumah tua yang-uh, sudahlah! Yang jelas, mereka berempat benar – benar gila! Memang, kami memang sering pergi ke suatu tempat misterius, tapi tidak seperti yang satu ini. Memang, kami seperti grup detektif atau semacamnya, tapi apa yang akan kau lakukan di sebuah rumah tua yang usianya hamper 2 abad dan rumah itu bisa dibilang angker! Ya ampun! Aku bisa jadi gila juga!
            Dan sekarang, lagi – lagi, untuk ke lima puluh kalinya Alex membujukku untuk ikut. Mungkin juga bisa dibilang memaksa. Tapi, hati kecilku berkata, aku tak usah ikut. Walaupun, aku tahu kata – kata yang akan mereka berempat katakan jika tahu aku tak ikut pergi, seperti : “Dasar pengecut!” atau “Payah!” atau “Kau akan menyesal!” dan semacamnya. Dan aku pasti terpaksa ikut. Tapi sepertinya, kali ini aku benar – benar tak ikut. Dengan alasan yang sangat meyakinkan : Aku harus membantu orang tuaku seharian penuh dua minggu ini. Mereka akan pergi tanpa mengajakku jika kukatakan hal itu. Yei! Dan rencananya, aku akan mengatakan itu besok pagi. Namun sialnya, besok pagi ibuku malah mengundang mereka merasakan coklat panas buatannya. Jadi, aku akan mengatakannya saat semua sudah selesai dan diluar rumah-di tempat yang aman dan tak akan terdengar oleh orang tuaku.
            Aku menoleh ke arah jam. Pukul setengah enam sore. Bukankah ini waktu yang indah untuk melihat sunset? Ya, benar. Apalagi jika Hawaii berada I km dari rumahmu. Tapi rumahku berkilo-kilo jauhnya dari tempat indah itu. Sayangnya. Tapi setidaknya, aku akan merasakan kebahagiaan, yaitu menggambar, membuat cerita, mendengarkan lagu, membaca novel, online dan apapun tanpa gangguan para pengganggu-Alex, Carlos, Ray dan Will. Terutama Alex. Dia adalah orang yang paling menyebalkan yang pernah kukenal. Oh-sebenarnya tidak juga, masih banyak orang jauh menyebalkan darinya. Tapi, coba saja, di tahun ini, dia dicap sebagai orang ter-menyebalkan sesekolah setelah Brad dan Jacob, dua orang alumni sekolah kami. Memalukan! Aku benar – benar malu kenal dengannya. Dia adalah anak kelas 7, kelas terendah di sekolah kami! Jadi tak salah jika aku benar – benar tak suka padanya. Benar kan?!
            Dad memanggilku dari bawah. Aku bergegas turun. Setengah berlari.                                
“Ada apa, Dad?” aku berseru. Dan aku langsung merengut ketika tahu bahwa empat orang itu datang.





“Ada perlu apa?” tanyaku sinis dengan melipat tangan di dada.
“Hei, kau kan tak perlu seperti itu menyambut kedatangan kami!”
“Katakan saja langsung apa perlu kalian ke sini!” seruku. Belakangan ini aku memang jadi sering marah – marah sendiri. Entah mengapa. Carlos menunjukan sebuah gulungan kertas. Papirus mungkin.
“Ini” katanya “Kami temukan di pekarangan depan rumahmu.”.
Aku mengerutkan kening.
“Aku Tak mengerti maksud kalian.” ujarku heran.
“Ayolah. Ini bukan soal rencana itu-“
“Diam!” tukasku memotong ucapan Will. “Tolong katakan kalian tidak bercanda.” Lanjutku.
“Jadi kau masih menganggap ini lucu?” tanya Ray.
“Bukan itu maksudku, tapi kalian tak menipuku, kan?”
“Hei, tolong jangan remehkan kami!”
“Lagi pula ini tak berhubungan dengan rumah itu, lihat ini!”
Aku mengambil papirus itu dari tangan Carlos.
“Warisan Rusvell Dalam Lorong Bawah Tanah?” gumamku membaca judul kertas itu yang ternyata adalah sebuah peta. Aku menaikkan alis. Lalu keningku berkerut kembali. “Aku tak tahu apa yang kalian maksud, tapi kalau mau menyelidiki, aku takkan ikut.”
Semuanya terdiam, dan, benar kataku, kata – kata itulah yang terjun dari mulut mereka.
***
Two
Carlos Corllod
Sedikit tentang Carlos

Nama Lengkap             : Carlos Corllod
Nama Panggilan           : Carlos/Carlo
Lahir                              : Los Angeles, 7 Februari 1999
Saudara                         : Emily Lizchrain Corllod
Hobi                               : Basket, Baseball, Skateboard,
apa saja dalam bidang seni juga olahraga lainnya dan belajar
Makanan favorit           : Pizza, hamburger dan sandwich
Minuman favorit          : Cokelat panas
Warna favorit                : Cokelat dan hitam
Angka favorit               : 7
Pelajaran favorit            : Biologi
Kutipan favorit             : Kau takkan merasakan
yang kedua, sebelum kehilangan yang pertama
***
M
ungkin, ucapan Alicia bahwa ia tak mau ikut pergi ke rumah tua itu pas, karena kami kerumahnya ingin mengatur rencana. Dan, jujur saja, kami memang sengaja membuatnya di rumah Alicia. Kau tahu kenapa? Pertama, karena ia anak tunggal, dan kedua, jika ia sudah sangat sebal terhadap kami berempat, ia akan mengunci diri di kamar, dan suasana menjadi sepi. Jadi kami bisa bebas.
“Dan apakah kalian tahu dimana letak warisan ini?” tanya Alicia. Kami mengangguk.
“Di rumah itu.” jawabku tak habis pikir. Will menyikutiku dan Alex memukulku.
Alicia terdiam. “Sudah kubilang aku takkan ikut!” seru Alicia.
Ray hanya menaikan kacamatanya yang merosot.
“Aku takkan pergi ke rumah yang usianya hampir 200 tahun!”
“Baiklah, tapi, sampai kau pergi, kau harus mentraktir kami.” Ujar Alex.
“Terserah. Sudah kubilang aku takkan pergi!”
Alex sedikit menampilkan senyum nakalnya. Sepertinya, dalam hati ia bicara “lihat saja nanti” lalu tertawa geli. Tapi apakah itu benar? Untuk memastikannya, aku berjalan ke arah Alex, memberikannya kode, lalu kami ke belakang.
“Begini” katanya. Tuh kan, aku betul. Sudah kuduga dia merencanakan sesuatu. Ia berbisik – bisik padaku. Tapi karena suaranya seperti tikus, aku memintanya mengulang dengan perlahan.
Lalu aku mengangguk. Sekarang, aku mengerti apa yang akan dilakukannya, tepatnya apa yang akan kami lakukan pada Alicia agar ia mau
pergi ke rumah tua itu.Dan bodohnya, aku setuju.
Masalahnya, hampir semua ide baiknya adalah
ide yang paling buruk. Aku bukan mengejeknya,
tapi ini kenyataan! BUktikan saja sendiri! Aku
juga tak tahu mengapa ia bisa mempunyai pikiran
yang di luar kotak. Tapi soal itu, tenang saja,
bisa kita bicarakan nanti di akhir bagian 1.
Kembali pada cerita.
Rencananya, hanya kami berdua yang melakukan itu. Entah mengapa Alex tak mengajak Will dan Ray. Mungkin karena kalau ia mengajak Will, takut akan dikurangi poin OSIS-nya. Dan kalau ia mengajak Ray, ia pasti akan dipusingkan oleh teori matematikanya yang menghitung berapa kerugian yang disebabkan oleh kejadian ini. Jadi ia tidak menganggapku sebagai ancaman?! Hei!
Ya sudahlah. Tak apa. Mungkin ia masih bisa diandalkan.


Lalu aku kembali ke kerumunan mereka. Kembali mendengar keluhan Alicia. Sampai bibi menghampiri kami semua. Dan menawarkan, “Anak – anak, apakah kalian mau sandwich ini?”. Aku langsung menyerobot Alex dan Will yang ada di depanku. Kudengar, mereka membicarakanku. Tapi biarlah, terserah mereka. Dan yang penting, tentu saja, SANDWICH!
***
Three
Alexandre Albert
Sedikit tentang Alex

Nama Lengkap             : Alexandre Albert
Nama Panggilan           : Alex
Lahir                              : Paris, 13 Februari 1999
Saudara                         : Nicholas Albert
Hobi                               : Voli, sepak bola, renang
  dan menjahili orang
Makanan favorit           : Sphagetty and pizza
Minuman favorit          : Orange juice
Warna favorit                : Abu – abu dan hitam
Angka favorit               : 13
Pelajaran favorit            : Geografi
Kutipan favorit             : Sahabatmu adalah amplop
suratmu, yang akan menyimpan semua perasaanmu
***



Carlos memang akan berubah 180 derajat jika sudah melihat sandwich. Belum lagi besok, segelas cokelat panas. Oh, kau pasti bisa membayangkannya, Will.” Ujarku pada Will yang mengomentari reaksi Carlos. Will dan aku tertawa diam – diam. Sebenarnnya aku tahu, Carlos mendengar kami. Dan pasti telinganya sudah panas. Tapi dia masih diam. Ini semua demi sandwich itu. Ya ampun, betapa tergila – gilanya ia dengan makanan itu. Aku pun jadi ingat, bahwa jika kami pergi menonton pertandingan basket, dan LA Lakers bermain, dia akan menjadi patung. Malah mungkin tak bernapas. Dia bisa melahap 2 box popcorn besar sekaligus. Sendiri pula! Jadi, sebelum kami menonton pertandingan basket itu, kami harus membeli I box kecil untuk Alicia, 3 box sedang untuk aku, Ray dan Will, dan tentu saja, 2 box besar untuk Carlos sendiri. Jadi, bukan hanya aku saja yang gila. Orang – orang yang sangat waras sekalipun bisa menjadi sangat gila–lebih dari diriku.
           








            Sekarang, aku beralih ke rumah tua itu. Menurutku, rumah itu tak terlalu seram. Hanya Alicia saja yang melebih – lebihkan. Ya, benar. Dia hanya melebih – lebihkan. Aku heran, mengapa ia selalu mempunyai pikiran – pikiran yang gila seperti itu.
            Aku menelan sepotong sandwich milikku. Benar – benar lezat. Tak rugi aku ke sini. Lalu aku memikirkan siasat yang akan kulakukan dengan Carlos. Kurasa, ide itu terlalu kejam, tetapi, apa boleh buat? Jadi, rencananya begini. Eh, nanti saja deh. Carlos menyikutiku dan berkata, “Dasar bodoh! Kau mau membocorkan rencanamu sendiri!?”
            Oke, baiklah. Aku takkan membicarakannya sekarang. Dan, 5 detik kemudian, Carlos telah melahap habis sandwich–nya. Sedangkan milikku, masih sepertiganya. Kulihat, dia masih belum puas. Sungguh, ia benar – benar penggila sandwich! Aku tetap melahap sandwich­-ku dengan perlahan. Sampai mendengar dering telepon yang begitu nyaring. Aku sudah berkali – kali menyuruh Alicia untuk mengganti nada dering ponselnya, tapi ia tetap tidak mau. Dan sekarang, lagu Haunted karya Taylor Swift. Aku menoleh. Ponsel itu di belakang kursiku. Kulihat, ia tidak punya kontak orang yang menelponnya. Aku jadi enggan berbuat iseng–dengan mengangkat telepon itu. Biasanya, aku mengangkat telepon dari orang yang kukenal. June. Dia korban yang paling sering.
            Tapi, tanganku tak bisa diam. Tanpa habis pikir, aku hanya berkata, semata – mata untuk menghentikan dering mengerikan itu. Dan Alicia tiba – tiba mengejutkanku.
“Apa yang kau lakukan!? Dasar bodoh!”
Aku tak bisa berkomentar dan hanya meringis. Ia pasti sudah biasa dengan sosokku yang jahil ini–bahkan menjahili orang yang belum kukenal. Itu sangat menyenangkan.





Kulihat tangan Alicia bergerak mematikan dering mengerikan itu. Aku menghela napas lega. Tapi kemudian aku berpikir – pikir, mengapa ia tak memakai lagu “Unfriend You” atau “Hold On ‘Til The Night” atau “Summer Train” atau “House Is In Your Eyes” atau “Party In The USA” atau “Party Rocky” atau “Latin Girl” atau “Who Says” atau “Gift of a friend”? Aku tahu ia Swifties, tapi, kemarin ia bilang padaku kalau ia Lermaniac. Sayangnya, tak ada lagu dari Logan Lerman.
Aku melihat ekspresi wajah Alicia. Yang semula datar menjadi panik. Aku langsung teringat oleh rencanaku, dan terbayang olehku pasti wajahnya juga akan seperti itu nanti. Aku menoleh pada Carlos. Ia mengangkat bahu. Heran. Aku juga. Padahal, aku tak melakukan siasat maut–ku itu sekarang.
Lalu ia mematikan telepon itu. Matanya sedikit tegang. Lalu ia cepat – cepat berlari ke kamarnya. Aku mendengar suara barang – barang berjatuhan. Sekarang, Will dan Ray juga heran. Aku menoleh pada ponsel Alicia yang ditinggalnya di meja belakang kursiku. Aku melihat  messages–nya, dan terdapat pesan : Aku akan membunuhmu di lorong itu!
***
Four
Raymond Ritscooter
Sedikit tentang Ray

Nama Lengkap             : Raymond Ritscooter
Nama Panggilan           : Ray
Lahir                              : Washington D.C, 1 Juli 1999
Saudara                         : Julie Anne Ritscooter dan Daniel Ritscooter
Hobi                               : Golf, Tenis meja, belajar, berdiam diri di laboraturium sains
Makanan favorit           : Roti dan ikan sarden
Minuman favorit          : Apa saja kecuali yang mengndung soda. Kecuali kalau dipaksa Alex
Warna favorit                : Merah
Angka favorit               : 1
Pelajaran favorit            : Fisika, Kimia dan Matematika
Kutipan favorit             : Tak ada kata terlambat untuk memulai
***



A
Ku melihat wajah Alex. Tampangnya sangat konyol. Wajahnya seperti kebingungan. Aku menghampirinya.
Ia menunjukan pesan itu kepadaku.
“Lorong?”gumamku.
Carlos dan Will juga mendatangi kami.
“Menurutmu lorong apa?”
“Entahlah. Tapi sepertinya bukan lorong biasa. Lihat saja, ia memberikan ancaman pembunuhan.”
                Ibu Alicia lalu datang mengejutkan kami.
“Dimana Alicia?” tanyanya.
Kami tak bisa bicara, jadi kami hanya menunjuk saja ke lantai atas. Yang sampai sekarang masih terdengar barang – barang berjatuhan.
Bibi seraya melangkahkan kakinya ke tangga. Tapi kami mencegahnya. Dan kami katakan, bahwa kami yang akan menengoknya.
Lalu kami mulai naik tangga. Tangga itu terasa panas dan mengcekam juga penuh misteri. Entah hanya perasaan kami atau bukan.
“Di ponselnya banyak sekali pesan ancaman yang dikiram dalam 1 waktu. Sekitar 30 pesan pada jam tujuh lewat tiga belas. Hebatnya, 30 pesan itu pada satu menit.” Ujar Alex yang masih memegang ponsel Alicia.
“Sudah pasti bukan manusia.” Tambahnya.
“Alex!”
“Ya ampun, kau ini payah sekali, sih!  Sekarang zaman sudah maju. Mau kirim sampai ribuan pesan pun dalam 1 detik bukan hal yang mustahil!”
Akhirnya kami sampai di depan kamar Alicia. Will yang mengetuk. Karena tak ada jawaban. Kami mengatakan–secara acak bahwa kami akan masuk. Dan kalau dikunci, kami akan mendobraknya. Tetap tak ada jawaban. Jadi, dengan bersusah payah kami mendobraknya.
Setelah pintu itu dibuka, Alicia tak ada. Yang ada hanyalah barang – barang yang berantakan. Biasanya, ia tak suka dengan sesuatu yang berantakan, pada saat ke rumah Alex saja, ia paling tidak suka dengan kamar Alex. Dan sekarang, aku tak tahu apa komentar Alex tentang kamar ini. Yang paling mencurigakan, jendela yang terbuka.
Kami langsung berlari ke tempat itu. Tapi tak menemukan tali seutas pun. Tak mungkin jika dia lompat dari atas sini. Karena aku tahu, dia pasti berpikir perbuatan seperti itu sangatlah bodoh.
Kami lalu diam membantu. Perasaan heran
menyelimuti kami. Apa yang harus kami katakan
nanti jika bibi bertanya lagi? Bahwa Alicia minggat
dari rumah dan terjun dari jendela?
                Aku yakin bibi akan jantungan mendengar hal itu. Alicia kan anak tunggal. Baik, jadi kami harus bicara apa sekarang? Ia bisa terbang? Lalu melayang dalam dalam dimensi waktu? Atau ia bisa menjadi transparan? Makanya jadi tak terlihat? MUSTAHIL
                Jadi apa yang harus kami katakan sekarang? Baiklah, aku lalu mendorong Alex saat mendengar langkah bibi di tangga. Biasanya, ia selalu mempunyai ide – ide palsu yang sangat meyakinkan. Aku pun bahkan sering tertipu. Kuakui, dia adalah orang yang paling pandai menipu orang. Aku tak menyindirnya, itu KENYATAAN.
                Karena Alex tak punya ide buruk, ia mundur. “Payah!” seruku pelan. Akhirnya bibi sampai di depan pintu kamar. Ia membuka pintu itu perlahan, aku sempat melihat raut wajahnya.
Gembira.
“Mengapa kalian masih di sini? Ia sudah ada di bawah.” Tegasnya, yang meyakinkanku kalau Alicia tak hilang-entah ke mana. Kami saling berpandangan. Tak mengerti ada apa ini. Semua barang berantakan, jendela terbuka, Alicia hilang lalu kembali lagi. Anehnya, bibi tak komentar soal kamar yang SANGAT berantakan ini.
***
Five
Williams Wavreey
Sedikit tentang Will
Nama Lengkap             : Williams Wavreey
Nama Panggilan           : Will atau Bill
Lahir                              : California, 3 Juli 1998
Saudara                         : Wrian Wavreey
Hobi                               : Rugby dan Billiards
Makanan favorit           : Keju
Minuman favorit          : Cappuccino (panas/dingin)
Warna favorit                : Biru
Angka favorit               : 3
Pelajaran favorit            : Sejarah
Kutipan favorit             : Raihlah busurmu, karena itu akan menunjukan panahmu masing – masing
***





A
khirnya kami turun. “Perasaan ini lagi” pikirku saat melewati tangga itu. Dan sekarang, auranya lebih mencengkram dari semula. Tanpa sadar aku merinding. Entah mengapa tempat ini menjadi dingin.
Lalu kami sampai di bawah.
Benar kata bibi. Alicia sudah disana. Di meja makan. Memakan sandwich­-nya. Kami berempat berpandangan kembali lalu duduk di kursi masing – masing. Alex menaruh ponselnya di sebelah sikut Alicia. Tapi Alicia tak ada reaksi. Padahal aku sangat tahu, biasanya ia akan marah – marah. Tapi tidak. Sekarang, ruangan ini menjadi sepi. Mengingat nada dering ponsel Alicia yang keras. Dan yang semakin mengherankan, Alicia mengucapkan kata yang sangat langka pada Alex. Mungkin bisa dihitung dalam I dekade. Terima kasih. Itu yang diucapkan. Tawaku dan Carlos hampir meledak mendengarnya. Ditambah wajah Alex yang konyol sekali waktu mendengarnya. Sedangkan  Ray serius dengan buku fisikanya.
Alex tak menghiraukannya. Dan duduk di kursinya. Setelah itu, aku merasa ada yang aneh. Bibi meminta kami mengirim barang ke rumah yang berjarak beberapa blok dari sini. Yang setelah diperkirakan olehku dan Carlos itu adalah rumah kosong itu. Dan, Alicia setuju.
Setelah itu, kami keluar tanpa hambatan. Oh-maksudku, biasanya, Alicia dan Alex berdebat dulu. Tapi sekerang tidak. Bahkan Alicia senyum.
“Tak biasanya” gumam Alex padaku.
“Menurutmu tak biasa. Karena kau sendiri yang kadang – kadang membuatnya merengut.” Balasku.
“Ya, kuakui itu.”






Sekarang, kami sampai di depan pagar rumah tua itu. Mungkin, jika kau lihat, kau takkan menganggapnya sebagai pagar. Hanya sepertiga besi pagar itu berdiri. Jadi, mudah saja bagi kami untuk masuk. Tapi ada satu hal.
Alicia hilang
Perasaan aneh itu mulai kembali menghinggapiku. Kami mengurungkan niat kami untuk masuk. Detik berikutnya, kami dikejutkan oleh sebuah suara.
“Hei! Kalian!” Alicia.
Tak terasa aku menghela napas. Rasa aneh itu terbang dari diriku. Tapi, rasa takut tak pernah bisa kubuang. Entah hanya khayalanku, atau karena rumah tua ini. Kulihat anak itu lari dari kejauhan sambil mengerutkan keningnya. Oh! TIDAK!
“Hei! Kalian kucari kemana – mana tidak ketemu! Dan sekarang, kalian malah berada di depan rumah tua ini! Harusnya kalian pamit!” teriaknya. Dan kalimat terakhirnya membuat kami berpandangan lagi.
“Pamit?” ulang Carlos.
“Tapi…bukankah kau ikut bersama kami tadi….?” Tambahku.
Alicia menganga.
“Ikut? Bagaimana bisa! Kalian bahkan tak membantuku dan ibuku melepaskan tambang – tambang itu!”serunya.
“Maaf?”
“Ayolah, jangan pura – pura tak tahu! Kalian pasti sengaja melakukannya!”
“Tapi kami tak tahu!” seru Alex.
“”Tapi aku yakin terlihat jelas di depan mata kalian! Karena aku memang ada di depan mata kalian!” Dan mulailah perdebatan antara Alicia dan Alex yang mungkin akan berakhir jam 5 sore nanti.
Dan sekarang, Alicia mengatakan tambang? Oh-ini benar – benar tak beres.
***
Six
Chaterine Alicia Jhane
Y
a ampun, apa lagi yang mereka bicarakan sekarang? Tak melihatku dan ibuku yang diikat? Menggelikan. Lalu apa yang harus kulakukan agar meyakinkan mereka? Oh ya, aku ingat.
“Alex, kau membaca pesan di ponselku, kan?” tanyaku.
“Bukan hanya aku.” Jawabnya.
“Baiklah, itu malah lebih bagus. Kalian bisa menyimpulkannya kan?” kataku.
Well, tapi tak mungkin hanya dengan kau dapat pesan itu lalu bisa jadi hilang kan?” tanya Will. AKu mengangkat bahu.
“Aku heran. Jaman sekarang masih saja ada orang jahil yang seperti itu.” Ujarku.
“Baiklah, aku akan jujur,” ujar Carlos sambil menarik napas untuk meyakinkanku, “aku-tidak-melihatmu”. Ia memperlambat dan memisahkan kata demi kata agar aku percaya. Tapi, tetap saja, bukan aku namanya jika tidak menyangkal pengakuan mereka. Bisa saja ini hanya tipuan. Tapi Alex, ia tak lagi berdebat denganku. Tapi kan, itu bisa saja hanya siasat. Alex paling mahir jika disuruh melakukan sandiwara seperti ini. Akhirnya, beberapa menit kemudian aku yakin bahwa mereka tak menipu.
“Baik, sedang apa kalian di tempat gila seperti ini?” tanyaku kemudian.
“Ini bukan tempat gila!” seru Alex.
“Ibumu…menyuruh kami…oh, sudahlah. Lupakan!” seru Carlos sambil melihat kedua tangannya.
“Bingkisan itu hilang.” Ujarnya pada Will.
Aku menghela napas.
“Baik, bisakah kalian menjelaskan, dengan sangat jelas, apa yang terjadi saat ini?” tanyaku, berusaha menahan rasa ingin tahu.
“Mungkin kau takkan percaya ini”
“Tapi kalau kau tak percaya dan menganggap ini lelucon, tolong jangan pukul kami.” Alex memotong ucapan Carlos dengan gaya yang tak merasa bersalah.
“Alex!”
Oh, mungkin aku sudah mendengar kata “Alex” dalam nada yang seperti itu sampai jutaan kali sejak bertemu mereka. Benar – benar, dia itu sangat keterlaluan.
Lalu Carlos menceritakan semuanya. Setelah itu, mataku terbelalak dan alisku naik.
“Oh, gawat. Dia mulai tak percaya.” Ucap Alex keterlaluan. Aku memang tak percaya. Tapi aku bisa menahan. Memangnya dia? Kalau bicara tak dipikr – pikir dulu. Aku heran bisa bersahabat dengan orang sepertinya.
Aku mulai bicara “Aku melompat dari jendela? Tak mungkin. Baiklah, aku akan jelaskan. Memang, aku mendapat pesan aneh di ponselku dan aku naik ke tangga menuju kamarku. Tapi disitulah hambatanku. Saat kubuka pintu kamarku. Aku sangat terkejut dengan kamarku yang sangat berantakan. Dan kalian pasti sudah melihatnya. Saat itu, kejadian berlalu dengan cepat. Tapi aku merasa, waktu diputar lambat untukku.” Aku menelan ludahku.
“Sebuah bayangan hitam besar datang, dan mendekapku. Dia mengikatku dengan tambang, dan membawaku ke bawah. Apakah kalian lihat? Jawabannya pasti tidak. Aku ditaruhnya di pojok dekat lemari makanan. Dan setelah itu, kalian naik ke atas. Lalu bayangan besar hitam itu lagi kembali datang. Dan dia melakukan hal yang sama pada ibuku. Dia menaruh ibuku di sebelahku, lalu bayangan itu menjelma menjadi ibuku. Ibuku yang palsu. Oh-kalian pasti tak lihat kakinya. Dia melayang.” Jealsku panjang lebar.
“Dan aku tak tahu soal jendela yang terbuka itu. Juga soal kamarku yang berantakan. Mungkin dia mencari sesuatu.” Tambahku.





Semuanya terdiam. Aku juga sebenarnya tak percaya apa yang terjadi pada diriku.
“Tapi, kamarku sudah rapi ! Lihat saja sendiri!” seruku. “Jadi, kalian tetap akan masuk ke rumah itu?” tanyaku.
“Ya. Kita tetap akan masuk.” Jawab Will.
Aku mundur selangkah. “Maaf, kita?” tanyaku. Mereka mengangguk. Oh gawat. “Aku tak ikut.”
“Tapi kau harus…”
“Sudah kubilang tidak.”
Itu kata – kata terakhir yang kuucapkan sebelum Carlos dan Alex mendorongku. Baiklah, 1 banding 4. Kau kira mana yang akan menang? Satu! Aku mencoba melepaskan  diri dari cengkraman keduanya. Sekarang, 1 banding 2. Mana yang akan memang? Dua! Baiklah, kuakui aku kalah. Dan sekarang, aku disuruh lebih dulu memasuki rumah itu. Yang pertama kali membuka pintu depannya. Setelah 2 abad. Gila! Yang benar saja! Mengapa tidak mereka sendiri!? Sebenarnya siapa yang tertarik!?
Aku hanya BISA diam. Ini pemaksaan. Aku menggenggam pegangan pintu itu. Tanganku gemetar. Itulah yang kurasakan pertama kali setelah decitan keras pintu itu terdengar. Kami semua mundur. Kukira, aku baru membuka pintu itu sekitar 2 inci, tapi ternyata sudah 10 cm. Dan sekarang, Carlos dan Will mengambil alih posisiku. Oh-ini lebih baik. Kurasa, mereka hanya tak mau mendapat kejutan buruk di awal. Mereka mulai melebarkan celah pintu. Sehingga pintu itu sudah terbuka sekitar 40 cm. Tak terlihat apa – apa. Kami akhirnya memberanikan diri untuk masuk. Ray yang terakhir. Dan ia berhasil menemukan sakelar lampu. Oh, aku baru tahu 2 abad yang lalu sudah ada sakelar(?). Sungguh, cahayanya terang sekali.
Dan keadaan rumah itu tak mengecewakan. Sepertinya pemilik rumah ini sang milyader. Tapi tetap saja, aku masih merasakan aura itu. Dan aku memaksa untuk kembali. Mereka tak mau. Aku tak tahu mengapa hanya aku saja yang mempunyai pikiran seperti ini. Mungkin hanya aku yang waras. Atau karena aku perempuan. Jujur saja, perempuan terkadang mempunyai ide yang lebih baik. Dan saat aku berbalik, pintu itu sudah tertutup.
***


Seven
Carlos Corllod
K
ulihat Alicia pucat pasi. Aku menghampirinya. Tanpa ditanya ia langsung menunjuk ke arah pintu. “Oh gawat.” Gumamku pelan. “Ray” panggilku. “Apa kau tadi menutup pintu?” tanyaku perlahan. “Tidak” itu jawabannya sebelum berbalik. “Memang a…” ia menghentikan kata – katanya setelah berbalik. “Tak mungkin.” Gumamnya sambil melesat menghampiri pintu itu. Aku dan Alicia menyusulnya. Karenanya, Alex dan Will juga menoleh.
            Aku dan Ray mencoba menarik gagang pintu. Tak berhasil pintu itu tak bergeming. Seperti dilem. Aku menyerah. Pintu ini tak bisa dibuka. Dan sekarang, Alex malah menendang pintu itu berkali –kali.
“Alex, hentikan. Tindakanmu tak masuk akal.” ujarku.
“Aku tahu, Carl.” Jawab Alex. Aku paling tak suka jika dia memanggilku ‘Carl’. “Tapi setidaknya ini membuatku tahu kita harus melakukan apa.”
“Ya. Aku tahu. Mari temukan pintu lain atau jendela dan pecahkan! Agar kita bisa keluar dari sini!” seru Alicia.




Kulihat Alex menggeleng dan langsung berbalik.
“Tidak.” Katanya. Sambil mengeluarkan gulungan papirus dari saku celananya. “Ini” lalu menunjukan apa isinya.
Warisan Rusvell Dalam Lorong Bawah Tanah. Aku ingin memukulnya rasanya. Ia masih bisa memikirkan hal seperti itu salam situasi ini. Aku melirik Alicia. Kurasa ia masih bisa menahan untuk tidak marah. Syukurlah, ia masih bisa memaklumi sahabatnya yang aneh ini.
“Ayolah, mana mungkin kita berdiam diri saja di sini? Bisa saja dengan pencarian ini kita dapat menemukan pintu keluar.” Ujar Alex.
“Baik, mau bagaimana lagi? Tapi kumohon agar kita lakukan ini besok.” Tegas Will. “Baik. Tak apa. Selagi aku masih membawa ini.” Ucap Ray sambil menunjukan buku fisikanya. Dan kami menyetujui untuk melihat – lihat isi rumah ini. Alicia masih belum bicara sampai saat ini. Aku yakin, ia pasti tak mau masuk rumah ini karena tahu akan jadi seperti ini.
Aku berjalan di sampan Alex. Di belakang. “Alex” gumamku. Ia menoleh. “Jika pencarian warisan ini membahayakan kita, dan jika kita selamat, kubunuh kau.” Tegasku. Aku tak mau ini berisiko tinggi.
“Ayolah, kuyakin tak apa.” Katanya agak sangsi. Kurasa karena aku menegaskan aku akan membunuhnya. Itu kan tak mungkin.
Kami memasuki sebuah ruangan. Dan tiba – tiba lampu itu mati.
“Oh, aku tak bisa melihat ada siapa di dekat sakelar itu.” Ujar Alex.
“Alex! Bisakah kau diam?!” seru Alicia. Inilah pertama kali kudengar suaranya setelah Alex bilang akan melakukan pencarian.
“Kau bisa bayangkan? Mungkin itu vampire, atau frankestein, atau werewolf, atau drakula, atau monster yang tak pernah kau lihat sebelumnya.” Ujarnya pada Alicia. Dan Alicia langsung menginjak kakinya. Walau gelap, aku bisa merasakannya, karena yang ia injak adalah kakiku.
“Ukh, Alicia, kau salah injak! Itu kakiku!” seruku.
“Oh, maaf. Dan sekarang, di mana kaki Alex?”
Mereka terus mengelilingi diriku. Dan Alicia sudah menginjak kakiku beberapa kali.
“Maaf Carlos. Di sini gelap. Dan orang itu tetap cari masalah denganku.” Tukas Alicia.
“Baiklah. Terserah.”
Kami sudah ada di ruangan itu sekarang. Ray mengerahkan senternya. Cahaya sorotnya seolah satu – satunya cahaya di ruangan itu. Aku sendiri pun tak melihat celah kecil.
Ruangan itu memiliki beberapa kursi dan meja yang tak tersusun, rak – rak buku, dan perapian. Sepertinya ini ruang santai. Rasanya keringat dinginku terus bercucuran. Dan aku agak menyesal masuk rumah ini. Yah, setidaknya menambah pengalaman. Pengalaman yang buruk. Terkurung di rumah tua? Silahkan saja jika menurutmu itu tak buruk. Aku terbuyar dari lamunanku ketika melihat apa yang dikatakan Alex benar – benar ada. Di belakang kami. Mengikuti. Matanya merah darah. Cakar – cakarnya yang panjang siap menerkam kami satu persatu.
Werewolf.



Eight
Alexandre Albert
A
ku menoleh ketika Carlos berteriak : “Lari!”. Apa yang kubicarakan terjadi. Werewolf. Aku yakin setelah kejadian ini berakhir, Alicia akan memukulku.
Akhirnya kami lari keluar dari ruangan itu, dan berpencar. Inilah yang tak kusuka. Dan yang paling menyebalkan, makhluk itu mengejarku. Hei, mengapa harus aku?! Aku terus berlari. Napasku tersengal – sengal. Aku melewati lorong – lorong. Dan banyak pintu. Entah sudah berapa yang kulewati. Dan makhluk itu masih mengejarku. Kalau ia werewolf, bukankah ia manusia? Dan apakah sekarang bulan purnama? Yang benar saja! Ini masih siang! Atau jangan – jangan… Pikiranku terputus ketika aku menemukan jalanku buntu. Sedangkan monster itu terus mengejarku. Gawat. Baiklah, mungkin, Carlos takkan bisa membunuhku karena aku sudah mati lebih dulu dilahap oleh monster jelek ini. Lebih baik jika dia menggigitku. Setidaknya aku tak mati. Akhirnya aku berbalik. Memberi kode pada makhluk itu agar hanya menggigitku, bukan membunuhku. Atau lebih baik tak usah berbuat apapun.
            Tapi rasanya aku belum siap menghadapi ini semua. Aku masih ingin bermain di pertandingan bola nanti. Melawan SMP yang hanya berjarak beberapa blok. Aku mundur beberapa langkah. Sampai diriku benar – benar terpojok. Kedua tanganku menyentuh dinding. Sedangkan monster itu tinggal sekitar 7 meter dariku. Aku meraba – raba permukaan dinding penuh debu itu. Berharap menemukan tombol rahasia atau apapun. Detik berikutnya, aku terjatuh di lift.
***
            Aku mencelikkan mataku. Aku masih di dalam lift. Kira – kira 5 detik yang lalu aku di atas sana. Mencari jalan. Dan sekarang, lift yang masih bergerak turun ini menyelamatkanku.
            Akhirnya sampai. Aku turun dari lift itu. Dan tiba di sebuah ruangan. Seperti gudang. Dan di sana…ada pintu! Segera saja aku berlari ke arah pintu itu. Dan ajibnya, pintu itu langsung terbuka. Aku membukanya, dan…….aku belum bebas. Di luar ruangan ini adalah laut.
            Aku menutupnya kembali. Ada yang aneh. Air itu tak masuk walau pintu ini kubuka. Padahal, kata Ray, air selalu menempati ruang yang kosong. Aku berbalik menatap benda – benda yang ada di ruangan itu. Seperti rongsokan. Banyak debu dimana – mana. Aku mengambil sebuah benda dari atas meja logam yang panjang. Benda yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tak bisa menyebutkan ini apa. Tapi bagiku, tampak seperti teropong. Dan aku mulai berpikir, bagaimana jika tiba – tiba vampire datang padaku, dan menyadap darahku. Oh-tak mungkin. Tiba – tiba aku teringat pada film Narnia ke 3. Pada saat Edmund Pevensie membayangkan ketakukannya. Dan benar – benar terjadi. Apakah seperti itu? Tapi ini bukan Narnia! Ini dunia asli. Mungkin. Karena tadi saat aku membuka pintu air tak masuk. Apakah itu ciri – ciri dunia asli? BUKAN.
            Aku melihat sesuatu yang bergerak – gerak di pojok. Dan aku menyadari. Sesuatu itu ada di dalam lorong. Aku menghampirinya. Lalu langsung menjauh. Aku teringat pesan di ponsel Alicia. Walau kutahu, ancaman itu tak diarahkan kepadaku. Saat itu juga, ponselku berbunyi beberapa kali. Tanda SMS masuk. Padahal sudah pasti tak ada sinyal di sini. Aku terdiam. Keringat dinginku masih bercucuran. Aku membuka pesan itu. Dan mendapat pesan yang sama dengan Alicia. Teleponku lalu berdering kembali. Tanda telepon masuk. Dari nomor tak dikenal. Oh, perasaanku saat itu sama dengan para korban di film ‘Final Destination’ yang ditelpon oleh orang yang sudah mati. Aku merinding seketika itu juga. Dan aku menyadari, kakiku gemetar. Semakin lama, keringat dinginku bercucuran. Mungkin aku bisa menghasilkan satu liter dalam semenit.
“Apa yang kau takutkan, Nak?” Sebuah suara mengejutkanku. Aku hampir melompat. Dan berbalik dengan perlahan. Lagi – lagi. Vampire. Aku merasa lebih tenang. Karena ada yang dapat kuajak bicara. Terlebih lagi, mungkin aku bisa berbicara padanya untuk tidak menghisap darahku.
Kulihat wajahnya. Pucat. Taring – taringnya keluar. Sampai aku mengira itu palsu. Lalu aku teringat film ‘Twilight’. Yah, setidaknya hubungan antara manusia dan vampire tak terlalu buruk. Tapi tetap saja itu buruk.
“Tidak…tak apa…” jawabku ragu.
“Apa kau terkejut melihat sosok kami?” sebuah suara menyahut di belakangku. Oh tidak. Vampire lagi.
“Dengan siapa kau ke sini?” tanya seorang vampire di sebelah kananku. Vampire ke 3.
Aku mencari jawaban. “Bagaimana jika aku datang bersama para pembunuh vampire?”
“Kami akan membunuhmu.”
Kurasa aku salah bicara. Karena mereka langsung memasukkanku ke dalam ruangan kecil. Dan entahlah sampai kapan aku keluar dari tempat ini. Mungkin tak kan pernah.
Ya. Akhirnya aku duduk di pojok ruangan itu. Menyendiri. Sungguh, ini sama sekali tak menyenangkan. Beberapa lama kemudian, aku mendengar sebuah bisikkan. Sepertinya ada banyak orang di balik daun pintu yang besar itu. Aku mendengar suara ‘klik’ dari pintu itu. Sepertinya aku akan punya harapan. Pintu itu terbuka sedikit demi sedikit. Aku berdiri. Dan terlihat beberapa orang berdiri. Mereka masuk dan menarikku keluar.
Sesampainya di luar, mereka bertanya padaku.
“Kau tak apa?” tanya salah seorang vampire laki – laki. Kukira usianya sebaya denganku. Karena tinggiku tak beda jauh denganku.
Aku menggeleng.  “Tidak. Tak apa.” Jawabku.
“Benar? Kau tak dapat perlakuan kejam dari vampire – vampire tadi?” tanya vampire yang lain. Kali ini perempuan. Sepertinya beda dua tahun denganku. Vampire lain mendatangiku lagi. Dan sepertinya ia lebih tua dariku. Tapi entahlah, mereka semua mempunyai umur atau tidak. Mereka sudah hidup selama ribuan tahun.




“Baik, tapi sekarang, apa kau bisa beri tahu kami apa maksud kedatanganmu, dan teman – temanmu?” tanya vampire itu.
“Ya, tadi kau menyebutkan bahwa kau datang bersama pembunuh vampire?” jawab vampire perempuan tadi.
Aku sedikit tertawa. Ternyata vampire mudah sekali ditipu. Aku membayangkan, para vampire itu sedang mencari para pembunuhnya itu pasti. Ya ampun! Aku lupa! Bagaimana dengan mereka?
“Baik, Alex. Aku tahu segalanya. Kau tak datang dengan para pembunuh vampire itu.” Ujar vampire yang kukira lebih tua dari diriku itu. Aku menganga. Tahu dari mana namaku vampire itu? Atau jangan – jangan…oh-dugaanku tepat. Mereka berempat yang memberi tahu. Mereka semua keluar dari balik vampire – vampire itu.
“Oh – sudah bagus padahal kalau ia mati dihisap darahnya.” Ujar Alicia. Benar – benar anak itu.
“Baik. Dari mana kalian tahu aku di sini?” tanyaku.
“Ceritanya panjang. Kau tak perlu dengar.” Kata Ray mengecewakan. Terserahlah, paling – paling mereka secara tak sengaja bertemu vampire – vampire ini.
Nine
Raymond Ritscooter
Dan sekarang Alex masih terus bertanya soal mengapa kami bisa sampai di sini. Aku yakin dia pasti sangat penasaran.
Itu sebenarnya tak terlalu rumit. Sangat sederhana.
Dan sekarang bukan itu yang akan kita bicarakan. Kalau kalian penasaran, tandanya kalian itu sama seperti Alex. Apa kalian mau disamakan dengan Alex?
Lalu vampire – vampire itu menunjukan jalan keluar dari ruang bawah tanah itu. Entah mengapa mereka mau membantu kami.
“Oh ya, apa kalian bisa menunjukan jalan keluar dari rumah ini?” tanya Alicia.
“Ya. Bisa saja.” Jawab Ron. Oh-aku lupa. Kalian kan tadi bersama Alex. Jadi mungkin kalian tak tahu siapa itu Ron. Ron itu vampire yang paling tinggi. Rob adalah vampire yang mungkin sebaya denganku. Dia adik Ron. Dan Valerie(Alicia sedikit terlonjak mendengar nama ini. Valerie itu nama dewi kematiannya), vampire perempuan yang paling cerewet itu. Yang kutahu hanya tiga itu dari belasan vampire – vampire ini. Karena hanya mereka yang banyak bicara.








“Tapi kalian tak bisa keluar.” Tambah Valerie. Kami tersentak. Apa? Hei, yang benar saja!  Kita akan mati di tempat seperti ini!
“Valerie!” ujar Rob.
“Oh-maaf. Aku lupa.”
“Baik. Begini. Dengarkan aku.” Ron berpaling ke arah kami. “Kalian memang takkan bisa keluar, sampai mendapatkan jiwa kalian.” Jelasnya. Jiwa? Aku melihat tanganku. Masih terlihat. Apa yang dimaksud dengan jiwa? Kami masih hidup sekarang.
“Jiwa? Maaf, tapi kami masih hidup.” Ujar Carlos.
“Ya. Aku setuju dengannya.” Tukasku.
“Maksudku…walaupun kalian telah menemukan pintu keluar itu…kalian tetap takkan bisa keluar. Kalau kalian berjalan keluar, jiwa kalian satu persatu akan terhisap oleh rumah ini.” Jelas Ron lagi.
Kami malah tambah tak mengerti. Aku tak percaya sebenarnya, tentang jiwa itu. Tapi bagaimana kalau itu kenyataan?
Will meminta diperjelas lagi. Dan Ron berkata, “Jiwa yang kumaksud seperti udara. Kalau kalian ke tempat hampa udara, kalian akan mati lemas, kan? Seperti itu, kalau kalian keluar dari rumah ini sebelum menemukan jiwa kalian, kalian akan mati lemas dalam hitungan detik.”
Aku benar – benar tak percaya oleh ucapannya. Apa maksudnya jiwa dan udara sama? Tak ada ilmu fisika yang seperti itu. Memang tidak ada sebenarnya. Kalau kalian mau tahu bisa atau tidak, tanya Carlos. Dia ahli biologi. Tapi menurutku tak bisa. Apa kalian di sekolah pernah diajarkan bahwa udara dan jiwa itu sama? Sama sekali tidak.
“Baiklah. Tapi tunjukan pada kami bagaimana caranya? Mencari jiwa? Baru sekali ini kudengar kata – kata itu.” Ucap Carlos. Memang, mana mungkin ada acara ‘Mencari Jiwa’?
“Aku hanya bisa bilang : hanya kalian yang bisa tahu.” Jawab Ron. Aku bahkan tak tahu sekarang aku masih waras atau tidak.
“Ray, kau tahu?” tanya Alex. Aku menggeleng. “Orang terpintar di sekolah saja tak tahu, bagaimana yang lain?” gumamnya. Ya ampun, dia itu tak punya insiatif untuk berpikir sendiri, memangnya? Padahal dia punya bermiliyar ide untuk menjahili orang, dan semuanya unik – unik. Takkan ada orang yang tahu kalau itu tipuan. Tapi dalam hal belajar, jangan tanya deh lebih baik. Aku heran dia bisa peringkat 4 di kelas. Aku jadi curiga, ia kan duduk di sebelah Carlos. Mana mungkin dia menyontek? Jarak mejanya kan jauh. Ah, sudahlah. Yang penting, dia itu pintar tapi tak pernah dimanfaatkan untuk hal yang baik. Mohon jangan ditiru, ya.




Baik, jadi kami memulai perjalanan ‘Mencari Jiwa’. Kami lalu pamit dengan vampire – vampire baik itu. Atau sangat jahat.
“Perjalanan mencari jiwa, katanya? Yang benar saja! Mereka masih waras tidak, sih?” Carlos mulai marah – marah sendiri. Sekarang aku tahu, jiwa dan udara itu sangat beda.



Ya, memang sangat berbeda.
“Baiklah, lalu apa yang kita lakukan sekarang?”
“Hentikan berjalan-mundurmu, Alex!”
“Menjelajah rumah ini sampai kita mati.”
“Hei”
“Tapi itu benar.”
Ya, dan mungkin kami takkan bisa keluar dari rumah tua ini.



Ten
Williams Wavreey
Kami terus menerus membuka pintu demi pintu, yang hasilnya tetap absen. Untungnya para vampire itu memberi tahu kami jalan keluar ruang bawah tanah itu. Kalau tidak, aku bisa mati sesak napas.
“Hei, kau dapat pesan itu, kan?” tanya Alex pada Alicia. Alicia mengangguk pelan. Dan Alex menunjukan ponselnya.
Alicia meliriknya.
“Ayolah Alex, ini bukan waktunya bercanda.” Kemudian memutar bola matanya.
“Aku tak bercanda! Ini…masuk setelah aku melihat…” Alex memutus ucapannya. Lalu langsung berlari ke jalan yang tadi. Dia memang gila.
“Alex!” panggilku.
“Lorong itu! Mungkin itulah yang dimaksud!” jawabnya. Aku tak mengerti apa yang dimaksud. Dan ia sekarang lari seperti orang gila.
“Hei Alex! Tunggu! Kau tak bisa langsung pergi begitu saja!” seruku memanggil – manggil. Walau kutahu itu sia – sia. Alex tak pernah mau menoleh jika dipanggil, walau sampai jutaan kali. Dia itu benar – benar keras kepala.
Kami terpaksa menyusulnya, dan menyeretnya kembali. Tapi ia lenyap di tikungan lorong yang gelap. Entah kemana perginya anak itu.
Well, ada kemungkinan ia ditelan kegelapan.” Ujar Carlos. Ia senang sekali mengucapkan kata itu.