Carlos yang mengatakan arah utara pun juga sudah tidak sabar dan menyesal mengapa ia berbicara ini adalah arah utara. Ia celingukan menatap apa yang dilewatinya. Dan setiap waktu tertentu ia menoleh ke belakang. Alex juga sebenarnya sudah tidak sabar, tetapi ia masih bisa menahannya. Alicia masih dengan persaan gelisahnya dan juga cengkraman tangannya yang menguat. Sampai suatu ketika, Will jatuh tersandung semacam batu di depannya. Tidak terlihat karena gelap.
“Will, kau tidak apa – apa?”
“Arghh…agak sakit sebenarnya…” tuturnya sambil mengelus kepalanya dan lututnya. Terutama kepalanya, karena membentur sesuatu. “Sepertinya ada sesuatu dibelakangku.” lanjutnya.
Ray meraba sesuatu dibelakang Will. “Seperti dinding. Tapi tidak rata permukaanya.” pikirnya. “Sepertinya ini dinding…dinding batu…yeah, mungkin, ini dinding batu, atau gua, atau yang lainnya. Alex melangkah maju dan…Ah! Hampir saja terjatuh… ditarik oleh Carlos. Dan mereka mendengar suara air terjun yang deras. Begitu juga Will, Ray, dan Alicia.
“Ini Air Terjun?” tanya Will tak percaya.
“Jadi yang kita injak ini…”
“Tebing Air Terjun.” ucap Ray. “Aku bisa merasakannya.”
Alicia mencium bau tanah basah dibawah tebing ini. Segar rasanya.
“Sekarang malam atau siang?” tanyanya sambil memegangi buku itu.
“Saat sebelum masuk ke dunia ini, dunia kita siang. Tapi sekarang, setelah kita berjalan - kukira - sangat jauh, aku ngantuk.” balas Will.
“Waktu dunia kita dengan dunia ini apakah sama?” tanya Alex yang sudah tidak shock lagi akibat hampir jatuh dari tebing itu. Dan kalau jatuh, ia akan hanyut terbawa arus air yang deras.
“Entahlah, dan aku sudah mulai mengantuk.” ucap Ray. Alicia menoleh ke arah tempat Will bersender sejak tadi. Ia melihat, sebuah lorong, besar, gelap…dan…”Mungkin saja itu gua!” pikirnya. Ketika ia ingin melihat apakah itu gua atau bukan, “Hei! Ini gua!!” teriak Will. Alicia diam sesaat dan setelahnya benar – benar menghentikan langkahnya. Empat sahabatnya lalu berlari masuk ke gua tanpa memperdulikan satu sama lain. Jadi, mereka tidak peduli kalau Alicia tidak ikut masuk. Sebenarnya, ia tidak mau beristirahat atau tidur disana - kalau tidak dipaksa - karena gelap. Dan sekarang, keempat sahabat laki – lakinya malah memakai tempat itu dan beristirahat. Jadi, ia tambah tidak mau. Lebih memilih istirahat diluar.
Alicia duduk termenung. Menatap langit tanpa batas. Bintang – bintang nampak terlalu terang baginya. Menunggu pagi yang entah akan keluar atau tidak, Alicia memutuskan untuk bersender di tebing di depan gua tempat sahabatnya beristirahat. Dan mungkin ia tidak tidur untuk pertama kalinya. Tapi akhirnya, ia tertidur, di atas tebing batu yang diinjaknya, melepaskan semua kelelahan yang dirasakannya. Matanya pun sudah sangat terpejam.
***
Esoknya, Alicia terbangun oleh kicauan burung yang merdu. Ia mencelikkan matanya. Lalu melihat burung yang membangunkannya itu berwarna perak. Dan ia menatap sekelilingnya dengan takjub. Langit berwarna oranye campur biru, putih, abu – abu, merah, dan merah muda. Matahari senantiasa memancarkan cahaya silau kuningnya. Lalu ia melihat tebing yang diinjaknya dan dibuatnya bersandar berawarna merah muda dan violet. Dan ia menyadari bahwa kabut yang sangat tipis menyelimutinya. Didepannya, ia melihat keempat sahabatnya membuat api unggun. Suara mereka tak kalah dengan kicauan burung yang merdu. Dan harus ia akui, suara mereka itu berisik. Maka, ia segera bergabung dengan mereka dan ikut menghangatkan badan. Alasan lain, untuk tidak mengeluh ada yang berisik.
“Dari mana kalian membuat ini?” tanyanya.
“Aku menemukan korek api di tasku, lalu di belakang batu besar itu,” tunjuk Will, “Ada beberapa kayu bakar kering. Hei, kau medengarkan, tidak!!?!” serunya yang kesal melihat Alicia tidak meperhatikannya.
“Oh, ya. Aku sedang menghangatkan badanku dulu. Tadi malam kan’ aku tidur di luar. Kalian sih enak.” jawab Alicia sambil terus mendekatkan badannya ke api.
“Salah sendiri.”
“Omong – omong di sini ada ikan atau semacamnya tidak, ya?” tanya Alex.
“Kalau ada, mau kau tangkap pakai apa?” balas Carlos.
“Tangan.” jawab Alex.
“Licin!” protes Alicia. “Nanti malah tidak dapat.”
“Kau saja yang tidak.” jawab Alex.
“Sudah, ah! Ribut terus dari kemarin.” lerai Ray.
“Kemarin?” tanya Alicia, Alex, Carlos dan Will serempak.
“Oke, bukan kemarin. Tapi entah kapan, saat Will menemukan buku itu.” desah Ray.
“Sebenarnya ini dunia magis apa, sih?” tanya Alicia kemudian.
“Entah. Buku itu tidak memberikan jawaban.” jawab Will.
“Kalian sudah tanya?” ujar Alicia. Keempatnya menggeleng. “Pantas. Mana bukunya?” tanya Alicia. Will mengambil buku itu dari dalam tasnya lalu memberikannya.
Alicia mencoba membuka buku itu, tidak ada yang terjadi. Bukunya tidak mau terbuka. Seolah – olah ada tangan besar dan kuat yang menarik sampul buku itu agar tidak ada seorang pun yang dapat membukanya. Ia lalu berpikir, “Niat sebagai kunci…Niat sebagai kunci…Aku berharap agar buku ini terbuka…”. Terbukalah buku itu dan langsung menunjukan halaman 5. Carlos melihatnya.
“Apa tidak bisa diulang dari halaman depan?” tanya Alicia pada Carlos yang memang tidak suka jika membaca buku langsung dari tengah.
“Sepertinya tidak.” jawab Carlos sambil berusaha membalikkan halaman buku itu pada halaman depan.
“Sedang apa kalian?” tanya Will tiba – tiba.
“Berusaha membuka halaman depan.” jawab Alicia.
“Tidak bisa?” tanya Will. Keduanya menggeleng. Ray yang sudah tidak kedinginan berniat untuk berdiri menghirup udara segar yang baru dirasakannya pertama kali. Dan karena ia tidak sadar kalau dibelakangnya ada Alex, maka Alex terjengkang saat menerima lengan dan sikut Ray. Lalu ia sempat menahan dirinya menggunakan telapak tangannya. Dan pada saat itulah ia sadar bahwa tangannya menibani sekolompok kecil rumput hijau.
“Eh…rumput…?” gumamnya. Keempatnya menoleh padanya. Seketika itu juga rumput – rumput bermunculan dengan bunyi “plup” di seluruh permukaan tebing itu. Menutupi warna merah muda – violetnya. Alicia kegirangan. Ia sangat menyukai warna hijau apa saja yang ada pada tumbuhan.
Carlos bangkit, lalu berjalan kearah dimana ia menolong Alex tadi malam. Dan yang ia dapati adalah, tebing itu berubah jadi tanah.
“Ngg…teman – teman… tebing ini bukit…” ucapnya.
Semuanya menoleh lalu berlari kearahnya. Setelah tahu dimana lokasi Carlos berdiri, Alex mengurangi kecepatan larinya. Tempat ia hampir jatuh. Terdapat laut berwarna biru kehijauan. “Tebing ini tinggi sekali” pikir Alicia. Walau ia tahu bahwa ini bukan tebing. Dan ia juga melihat di depan tempat ini terdapat sesuatu yang sama, bukit besar.
“Ada yang tahu tempat apa ini?” tanya Alex sambil mengintip dari balik punggung Will. Tidak ada yang menjawab. Semuanya terpukaku oleh pemandangan dunia ini, termasuk dirinya. Angin bersemilir sejuk. Menggoyangkan rerumputan yang baru saja terlihat. Air laut tersebut sangat tenang. Butiran pasir pantainya berhamburan diterpa angin. Dan dari atas terlihat seperti sesuatu. Dengan bentuk naga panjang yang terbang kesana kemari lalu menyemburkan apinya. Kelimanya merasa hangat sesaat saat melihat api keluar dari mulut naga itu. Dan mereka menyadari, bahwa semuanya adalah buatan pasir, Dunia Pasir.
“Indah…” gumam Alicia.
Alex memberanikan diri untuk maju ke depan, untuk melihat pemandangan yang sebenarnya. Ia menyempil di antara Ray dan Will. Mereka masih terus memandangi pasir yang terkena terpaan angin itu. Tetapi mereka tidak tahu kalau itu adalah kode, kode untuk membuka salah satu halaman di buku misterius itu.
Bab 3:
Sandi Sebuah Halaman
Angin besar datang dengan cepat lalu menerpa buku misterius itu lalu membuat buku itu membalik halaman selanjutnya dengan cepat, sangat cepat. Maka tempat di sekeliling mereka pun berubah – ubah seulur dengan kecepatan halaman buku itu berbalik. “Tutup bukunya!!” teriak Ray yang kesusahan melangkah karena angin besar tadi menjadi badai yang lebih besar. Tempat di sekeliling mereka pun belum berhenti berganti. Masih terus berubah…, sampai buku itu tertutup sendiri.
Badai juga berhenti. Dan sekarang mereka ada di sebuah ruangan yang besar, luas, gelap, lembab, dan remang – remang oleh cahaya seperti lilin.
“Tempat apa ini?” gumam Alicia.
“Debunya banyak sekali, sih!!” teriak Alex sambil membersihkan pakaiannya.
“Diam!” perintah Ray dan Carlos.
“Ada apa memangnya?” tanya Alex yang tidak memperkecil suaranya.
“Ngg…omong – omong…”
“Diam!!” seru Carlos, Ray dan Alicia bersamaan.
“Ini penting! Mana Will!??” serunya.
Semuanya menoleh kesekelilingnya. Mencari Will. Alex masih duduk di atas tumpukan debu. Alicia bersandar kepada dinding kayu cokelat yang sudah mulai rapuh.
“Tadi Will bersama kita, bukan?” ucap Ray.
“Tentu saja. Dan buku itu juga menghilang?” balas Alex.
Carlos memperhatikan setitik cahaya yang lama – lama mulai membesar. Sama seperti saat ia melihat cahaya bintang utara. Sedangkan Alicia merasa sesuatu yang mengintainya sejak tadi sedang berada di dekatnya, atau mungkin di sebelahnya! Spontan ia langsung meoleh ke kiri dan kanan. Tidak ada apa – apa ternyata.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang? Tanpa Will dan bukunya.” tanya Alex. Ketiganya diam.
Ray merasa menginjak sesuatu, seperti kunci, ya. Dia memungutnya. Kunci itu berukir naga yang sedang terbang dan kumisnya yang panjangnya sampai ekornya. Biasanya, kalau ia menemukan seperti itu, ia akan memberikannya pada Will, yang menyukai fosil, atau pada Alicia, Carlos, atau Alex, karena mereka bertiga menyukai seni. Tapi tidak untuk sekarang. Ia mempunyai firasat lain. Firasatnya mengatakan, jika ia memberikannya pada salah satu dari 4 sahabatnya, akan terjadi hal yang buruk.
Ia meyimpannya di saku.
“Ray, apa yang kau lakukan?” tanya Alex yang curiga melihat gerak – gerik Ray yang gelisah. Carlos dan Alicia menoleh pada Ray. Ia menggeleng. Carlos menujukan pandanganya pada titik cahaya tadi. Tapi sekarang hilang. Dan sulit untuk menemukannya kembali. Sedangkan Alex masih terus memperhatikan Ray yang memasukan tangannya ke saku bajunya sedari tadi.
“Rasanya ada yang tidak beres dengan Ray.” bisiknya kepada Alicia yang duduk disebelahnya. Alicia menoleh padanya, lalu beralih pada Ray.
Carlos kembali menemukan cahaya aneh itu. Lalu ia melangkah maju, menuju kayu rapuh di depannya. Ia yakin, kayu itu hanya ilusi, dan tempat sebenarnya adalah batu – batu karang seperti pada gua. Ia lalu menyentuhnya, dan seketika itu juga, kayu itu berubah menjadi pintu. Ia berpikir, bahwa penglihatannya sudah tidak bagus, dan akalnya pun sudah rusak, tapi itu semua salah, karena kayu itu memang berubah menjadi sebuah pintu sederhana.
Ray yang tangan kanannya sejak tadi ada di saku, tanpa sengaja, ia mengeluarkan tangannya untuk memahami apa yang terjadi pada kayu itu. Dan akibatnya, kunci itu jatuh dari sakunya, dan mengeluarkan bunyi gemercik indah yang enak didengar. Spontan Ray langsung menoleh ke bawah untuk melihat temuannya dan segera mengambilnya. Tapi Carlos mendahuluinya. Ia lalu bertanya Ray, “Benda apa ini?”. Ray tidak bisa menjawabnya. Bukan karena tidak mau, tetapi ada sesuatu yang menahan mulutnya untuk tidak berbicara. “Hei, kau tidak mau menjawabnya?!” seru Alex kesal yang bangkit lalu menuju Ray. Carlos menahannya dengan tanganya.
“Dia bukan tidak mau menjawabnya. Tetapi ada sesuatu yang yang menahannya.” ujar Carlos yang mengerti.
“Yah, begitulah…dan tanpa kujelaskan, kalian pasti sudah tahu apa itu.” ucap Ray. “Karena aku tidak bisa...mmph…” sesuatu menahan mulut Ray untuk berbicara lagi.
“Baiklah. Kami mengerti. Tapi, bisa tunjukan di mana kau menemukannya?” tanya Carlos perlahan. Alicia berdiri dan mendekat kepada ketiganya. Ray menunjuk kearah tempat ia menemukannya, tapi tangannya terasa seperti patah walau sebenarnya tidak. Ia menyeringai kesakitan.
“Ada apa?” tanya Alex heran.
Ray ingin bicara ‘Tidak apa – apa’ dan lagi ia merasa ada yang menahan mulutnya. Alicia menyadari sesuatu yang janggal. Ia tahu kalau seseorang yang tidak terlihat sedang menyekap mulut Ray untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. “Tapi siapa?” tanyanya dalam hati. Ia lalu melihat ke belakang Ray. Kosong. Tidak ada orang. Ia lalu membayangkan jika ada seseorang yang menyekap Ray dari belakang. Terutama kakinya. Dan, persis seperti yang ia duga. Di lantai yang penuh debu, ia melihat jejak telapak kaki yang tidak mungkin milik dirinya, Ray, Carlos, Alex, atau Will sekali pun yang tidak ada di sini. Ia lalu menginjak ‘kaki tak terlihat’ itu, dan seketika juga Ray sudah tidak disekap lagi. Alicia memperhatikan jejak ‘kaki tak terlihat’ itu berlari – lari dan meloncat – loncat kesakitan. Karena Alicia memang sengaja menyakitinya. Dan ia lalu melihat jejak ‘kaki tak terlihat’ mengelilingi dia dan 3 orang itu.
“Apa sih yang kau lihat?” tanya Carlos heran.
“Manusia tak terlihat.” jawab Alicia yang sudah tidak peduli dengan kaki aneh itu. “Dia yang menyekap Ray. Maksudku, dia yang melarang Ray. Mungkin itu kunci sesuatu yang sangat berharga.” tambahnya. Dan sekarang, giliran dirinya yang kakinya diinjak. “Akh…Hei!!” serunya.
“Ada apa lagi sih?” tanya Alex dan Carlos serempak.
“Apakah tidak ada pintu atau jendela di tempat ini?!” gerutunya.
“Sepertinya tidak.” jawab Carlos singkat.
“Lalu, kita mendapat udara dari mana? Pasti ada lubang!” serunya. Ia dapat merasakan lantai dibawahnya berongga. Lalu ia mengadah, “Atap,” ucapnya.
Ketiga sahabatnya berpandangan heran. Dan segera saja ia menjatuhkan diri di lantai. Lalu lantai itu ambruk dan mereka berempat jatuh ke bawah.
***
“Arrghh….hei, Alicia, mengapa kau melakukan hal bodoh seperti ini?” protes Alex.
Alicia tidak membalas.
“Ada apa sih, sebenarnya?” tanya Carlos.
Alicia tidak menjawab.
“Untung kuncinya tidak hilang.” ucap Ray.
Alicia tidak menanggapi.
“Kalian?!!” seru seseorang.
“Will! Dugaanku benar!” seru Alicia. “Will? Kaukah itu?” tanya Carlos, Ray dan Alex.
“Kalian me…mengapa bisa di sini?” ujar Will ragu. “Oh ya. Setelah kejadian tadi, buku ini tidak bisa dibuka atau pun terbuka.”. “Coba dengan kunci ini.” usul Ray sambil mengambil kuncinya dari saku.
“Omong – omong, manusia tak terlihat tadi itu sudah pergi belum, ya?” ujar Alicia.
”Oh, dia.” jawab Will santai.
“Kau mengenalnya?!” seru Alicia.
“Bukan kenal, tapi tahu.” balas Will santai lagi.
Alex memandang mereka berdua heran. “Duh, apa bagus jika kita terperangkap di sini campur dengan 2 orang aneh?” ucapnya kepada Ray dan Carlos. “Aku bukan orang aneh!” seru Alicia dan Will serempak. “Ah! Kunci! Serahkan kuncinya Ray!” seru Carlos mengubah topik.
“Oh ya. Ini!”
Untuk apa ini?” tanya Will.
“Membuka buku.” jawab Carlos.
“Baik. Akan kucoba masukan.” ujar Will.
Lalu buku itu terbuka pada halaman 11. “Mengapa langsung 11? Padahal tadi baru 5.” ucap Alicia. “Tunggu, ada tulisan…”
Halaman 11: “Sesuatu yang berbahaya sedang terjadi. Berhati – hatilah…”
“Yang berbahaya? Ayolah, buku ini sudah kelewatan berguraunya!” seru Alex. Will menatapnya dengan perasaan protes.
“Kalian telah melewatkan sebuah sandi untuk membuka halaman 13, halaman yang akan membantu kalian memecahkan masalah. Apa maksudnya?” baca Alicia pada halaman 12.
“Ah, sudahlah, lewatkan saja.” gerutu Alex yang sudah tidak percaya dengan apa yang ia alami. Ia merasa semuanya adalah dongeng sebelum tidur atau mimpi buruk. Bisa saja, pikirnya. Will sudah tak tahan dengan ocehan Alex. Ia membuang muka bersamaan dengan Alex karena kesal. Alicia, Carlos dan Ray pun menyadari suasana semakin panas. Ray, yang tidak sabar atas canggungnya waktu yang cukup lama, mulai mengambil posisi mundur dan duduk di belakang. Disusul Carlos. Tiggal Alicia yang masih menatap buku itu. Berharap sandi yang dibutuhkan muncul, tetapi tidak. Lalu ia mengingat – ingat kejadian yang ia alami selama ada di dunia aneh ini. “Oh ya…tulisan di kertas itu…satu langkahan…tebing atau bukit…tempat yang berubah…kunci yang Ray temukan…Tunggu! Ada yang terlupa! Mmm…tapi apa?” pikirnya serius. Benaknya penuh dengan pikiran seperti itu. Sehingga kepalanya pusing. Padahal tinggal sedikit lagi pikirannya sampai dengan ‘Naga Pasir’ itu.
Sesaat kemudian, terdengar langkahan kaki yang berat dari lantai atas yang sudah hampir ambruk tadi. Tapi, tadi ambruknya hanya sebagian saja. Will dan Ray mengadah. Carlos menatap buku misterius itu. Alicia celingukan dalam tempat yang gelap. Alex semakin habis kesabarannya. Maka, buku misterius yang tidak jauh darinya itu ia tendang.
Dan terdengar suara jatuh seseorang yang keras. Kelimanya terlonjak kaget. Termasuk Alex yang menendang bukunya.
“Dia datang. Hati – hati.” bisik Will.
“Dia itu siapa?” gumam Ray sendiri.
Alicia gemetaran karena menyadari bahwa orang yang ‘kakinya ia injak’ tadi berjalan ke arahnya.
“Dia manusia tak terlihat.” ucap Will. “Tadi dia mendorongku di sini.” bisiknya. Lalu ia berdiri dan sepertinya tepat di depan manusia tak terlihat. Lalu langsung jatuh duduk. Keempat temannya menolongnya. Tetapi Alicia masih kaku.
“Aku mengenalinya.” bisik Will.
Keempatnya tercengang. “Mengenalnya? Kau gila!?!!” seru Alex. Carlos menyikutinya.
“Ya.” jawab Will lalu bangkit. “Danny Chronwallx, tolong jangan main – main dengan kami.” ucapnya keras.
“Hah? Siapa?” gumam Ray.
“Ngg… Coronwax…?...?” gumam Alex.
“Tidak sopan, Alex. Chronwallx.” sela Carlos.
“Dari mana kau tahu?” tanya Alex.
“Kau tidak tahu? Dasar bodoh.” solot Alicia.
“Diam, bawel.” balas Alex.
“Duh, kalian ini. Dalam suatu yang gawat pun masih bisa bertengkar.” ucap Ray.
“Memang dari dulu.” jawab Carlos.
Keempatnya langsung menatap lagi ke arah Will.
“Cih, penyamaranku ketahuan! Percuma!!!” seru seseorang. Lalu perlahan mulai terlihat sosok asli manusia tak terlihat itu. Membawa sebuah Cape.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Will.
“Harusnya bicaramu lebih sopan dengan yang lebih tua!!” seru manusia tak terlihat itu.
“Oh, ya.” jawab Will singkat.
“Kau. Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ray.
“Wajar saja jika aku di sini. Kalian tidak tahu ini rumah apa?” balas manusia tak terlihat itu sinis.
“Ya. Tentu saja tahu. Ini rumah penyiksaan.” balas Alex keras.
“Alex!”
“Jangan kasar begitu!!!”
Manusia tak terlihat itu mengayunkan tinjunya ke arah Alex. Carlos dan Will menahannya. Alicia dan Ray berusaha menenangkan Alex.
“Memangnya kalian tidak tahu ini rumah apa? Ini adalah Rumah Keluarga Chronwallx! Yang bukan anggota keluarga kami, dilarang masuk!! Dan kau tahu, buku apa itu? Itu buku turun temurun keluarga kami! Sini! Kembalikan!!!” serunya sambil merebut buku itu.
Will memberikan buku itu.
“Dasar payah! Sandi rahasia saja terlewat! Dasar lima pasukan bodoh!!” serunya sambil melihat bukunya.
“Apa?! Tolong jangan samakan kami dengan dirimu, ya!!!” seru Alex.
“Itu sama saja dengan kau mengataiku bodoh, kan?!!” balas Danny Chronwallx.
“Oh ya. Tentu saja. Apa lagi?” jawab Alex santai.
“Sebaiknya kalian segera tinggalkan rumah ini.” ujar Danny.
“Memang. Kami tidak akan betah dalam rumah penyiksaan.” balas Alex.
Will kebingungan dengan bukunya. Ia merasa buku itu adalah temuannya yang paling berharga.
“Tunggu. Dia itu Danny Chronwallx? Kalau begitu dia cicit Nick Chronwallx?” gumam Carlos pada Will.
“Ya.”
“Apa? Nick Coron…cron…atau apalah itu. Penulis yang gila itu?” ucap Alex.
“Dia tidak gila. Justru dia itu orang yang paling mempunyai inspirasi terbanyak sedunia.” jawab Ray.
“Danny, kami butuh buku itu.” ujar Will tiba – tiba dan berbalik menghadap Danny yang dibelakangnya. Danny terlonjak kaget.
“Untuk apa?”
”Kami tidak bisa pulang tanpa buku itu.”
”Tandanya kalian tidak bisa keluar dari dunia ini selamanya.” ucap Danny puas.
“AKU TIDAK MAU BERADA DALAM DUNIA PENYIKSAAN INI!!!!!! Mengerti kau!!!??!!!” hardik Alex keras – keras.
“Bicaramu tidak sopan! Aku berbeda 2 tahun darimu dan 4 temanmu itu!” balas Danny. Alicia menghitung umur Danny.
“Mmm…maaf…aku berbeda 3 tahun denganmu. Aku masih 11 tahun.
“Diam! Jangan dipermasalahkan!” seru Danny.
“Dari mana kau tahu umur kami?” Danny tidak menjawab.
“Rebut bukunya.” bisik Alex. “Tidak bisa.” balas Carlos berbisik juga. “Tapi sepertinya buku itu menginginkan kami yang membawanya.” ucap Will tibi – tiba.
“Oh ya? Aku tidak percaya omonganmu.” ejek Danny.
“Coba saja lihat di halaman bagian depan. 5 ke bawah.” ujar Will.
“Oh.” Danny membuka halaman bagian depan. “Dan kalian tetap tidak bisa membukanya tanpa sandi. Oh, yeah, memang, buku ini bisa kubuka, dan kalian juga tidak akan bisa membukanya.”
”Tapi kan kau…” Alex langsung menutup mulutnya.
“Walaupun aku dapat membuka halaman depan, bukan berarti aku mengatakan sandinya, kan?” ucap Danny puas.
Bab 4:
Kastil Milik Chronwallx
“Ada apa ribut – ribut?” tanya seseorang yang baru bergabung.
“Ivonnie!! Emm…maksudku kakak!! Ada 5 orang PENYUSUP!!!” seru Danny.
“Penyusup? Mungkin kau salah kira.” jawab orang itu yang perlahan keluar. Memperlihatkan diri pada mereka dengan sedikit cahaya matahari yang didapat olehnya lewat celah kecil di atap. Sepertinya diluar siang atau malah malam.
“Tapi mereka masuk rumah kita diam – diam dan juga mencuri buku ini.” Danny mengangkat tanganya menunjukan buku. Padahal orang itu tidak berada jauh dengannya. Orang itu kemudian menatap kelimanya.
“Perkenalkan, aku Ivonnie Mary Chronwallx.” tutur orang itu halus. “Danny, kau tidak boleh kasar dengan mereka.” sambungnya. “Mereka tahu rahasia kita.” bisiknya pelan. Bunyi gemercik indah kembali terdengar. Kunci yang Ray temukan jatuh, ketika ia mengeluarkan tangan dari saku celananya. Lalu langsung mengambilnya.
“Akh! Kunci itu!!” seru Danny. Ivonnie menoleh. Ray membetulkan posisi kacamatanya. “Kalian tahu ini kunci apa?” tanyanya. Kali ini giliran Ivonnie yang marah.
“Kembalikan!!”
“Tidak. Ini dia yang temukan. Jadi ini milik kami.” balas Alex menjulurkan lidah.
“Sembarangan! Kembalikan cepat! Sini!”
“Tidak akan!!!”
“Kalian akan menyesal! Memang kalian tidak baca kertas yang ada bersama buku itu?”
“Memang apa hubungannya dengan kunci ini?” tanya Alex yang diberikan kuncinya oleh Ray sambil dilempar – lemparkan. Niatntya sih, agar dirinya tidak bertengkar dengan kakak-beradik itu. (“Alex, ini pegang. Aku tidak mau berdebat dengan mereka.” Ray menyerahkan kalung itu). Ia tidak suka bertengkar dengan yang lebih tua. Sepertinya.
“Yah, hadapi saja makhluk – mahkluk itu.” tutur gadis enam belas tahun itu sinis. “Lagi pula kalian kalian yang nekad masuk ke sini.”.
“Jangan menginggalkan buku itu sembarangan di rumahku, dong!” seru Will.
Ivonnie dan Danny mendelik kaget menatapnya.
“Ru…rumah…mu…?...” gumam Ivonnie tidak jelas.
“Tidak. Tidak mungkin.” tambah Danny.
Will menatap keduanya heran.
“Aku tidak mau tahu kalau dia adikku…” ucap Danny lesu.
“Adik? Aku punya keluarga sendiri. Dan aku juga punya adik.” jawab Will lantang. Ivonnie dan Danny berpandangan. Keduanya menghela napas lega.
“Memang ada apa sih?” tanya Alex asal.
Lama sekali Ivonnie dan Danny menjawab. Dan yang keluar dari mulut Danny adalah, “Siapa diantara kalian yang tidak punya saudara kandung?...”. Kelimanya berpandangan. Lalu Alicia berdiri terpana. Merunduk.
“Hei,” tegur Carlos pelan padanya.
“Kau kan…” Alex menambahkan pelan.
“Aku punya Nicholas Albert. Adikku yang berumur 1 tahun.” katanya seraya berbalik menghadap Ivonnie dan Danny. Keduanya menghela napas.
“Adikku Wrian Wavreey, 6 tahun.” sambung Will. Keduanya menghela napas lagi.
“Aku punya kakak yang bernama Daniel Ritscooter, 18 tahun. Dan adikku, Julie Ritscooter, 10 tahun.
“Hufft…kalau aku…” Carlos langsung ambil bicara “Mmm…” sesaat melirik Alicia cemas “Ada adikku…yang bernama Emilly Anne Corllod, 8 tahun…”
Seusai keempat temanya bicara, Alicia diam. Padahal sekarang gilirannya. “Dan kau, gadis cilik yang dibelakang itu…?” ucap Ivonnie.
Ia semakin mundur. Badannya gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika ia berkata bahwa ia “anak tunggal”. “Ngg…aku…aku…aku anak, tunggal.” katanya pelan. Ivonnie dan Danny terbelalak. Mereka terus menatap Alicia. Tatapan yang seakan tidak percaya.
“Be…benar…kah…?” desis Ivonnie.
“Ya…Tentu…” jawab Alicia. Berusaha mematahkan pandangan mereka padanya.
Keduanya berpandangan. Tatapan mereka seperti ketakutan. Sesaat ruangan itu sunyi. Keriangat dingin bercucuran dari tubuh ketujuh orang itu.
“Tidak. Tidak mungkin! Pasti bukan dia!!!” seru Danny pada kakaknya.
Ivonnie sesaat menatapnya lalu beralih ke bawah. Seakan kecewa.
“Kalian baca…buku itu?” gumamnya. “Lalu membaca sesuatu yang aneh?” tambahnya.
“Ya. Kami membacanya. Tapi kami tidak bertemu dengan yang ‘aneh’.” jawab Will. “Buku itu memberi kami petunjuk.”
Ivonnie dan Danny kembali berpandangan. Sekarang terlihat seperti kecewa.
“Pulang kalian!!” seru Danny.
“Tapi…kami,”
“Pulang!!”
“TIdak! Tidak Mau!!
“Alex, tenanglah. Jangan main kasar!”
“Habisnya, dia itu.”
“Cepat kalian pulang!”
“Tidak! Kami belum mau pulang!!”
“Kubilang, cepat pulang ke dunia kalian! Pergi dari sini!”
“Kita tidak tahu caranya. Dan juga tidak tahu cara kembali kesini, bodoh!”
“Aku bukan orang bodoh! Awas kau!!” seru Danny kesal. Lalu menebarkan serbuk – serbuk aneh berwarna biru kehijauan ke arah kelimanya.
“Danny! Jangan kau gunakan itu!!” seru Ivonnie cepat – cepat.
“Dasar. Aku tidak peduli!” Danny lalu memasukan kantung serbuk itu kesakunya. Sosok kelima sekawan itu kemudian mulai menghilang perlahan. Ivonnie lalu teriak, “Ingat! Jika kalian nanti tiba di suatu temapat mana pun, ucapkan Dialoxmugs! Ingat itu!”. “Ivonnie! Jangan!!” seru Danny. Terlambat. Will sudah mengingatnya. “Dialoxmugs, Dialoxmugs, Dialoxmugs…” pikirnya mengingat – ingat. Lalu, sampai sosok mereka benar – benar mengilang dari kastil itu, barulah mereka merasakan, betapa pusingnya dalam “sesuatu” yang entah apa namanya itu.
Mereka berada dalam lubang berwarna hijau tua yang bergerak berputar. Kelimanya bergerak seperti terhisap ke sebuah titik cahaya berwarna putih. Lalu mereka benar – benar terhisap. Dan terlempar ke sebuah sungai. Untungnya sungai itu dangkal. Mereka dapat menginjak dasarnya. Lalu cepat – cepat mereka ke tepian karena udara sangat dingin. Will berteriak Dialoxmugs.
Alex menoleh padanya. “Kau masih percaya?” tanyanya ketika sudah sampai di daratan. “Entahlah. Tidak terjadi apa – apa. Mungkin memang benar bahwa ini…” belum sempat Will menyelesaikan kalimatnya, Alex menamparnya pelan. Tapi tetap saja sakit. Alicia, Carlos dan Ray yang sedang berusaha mengeringkan rambut dan pakaian mereka(Ray juga sedang mengelap kacamatanya. Alicia terus mengeluh karena pakaiannya tak kunjung kering. Sampai – sampai telinga Carlos dan Ray pengang.), menoleh cepat ke arah Alex dan Will.
“Akh…Alex? Sakit tahu!!” seru Will. “Apa – apaan sih?”
“Tidak apa. Aku hanya gatal saja.” jawab Alex santai sambil tersenyum lebar.
Sekarang giliran Will yang memukul Alex. Pelan memang. Dan sekarang, Alicia, Carlos dan Ray sedang dipusingkan oleh sebuah pergulatan kecil, Alex Vs Will.
Bab 5:
Di Antah Berantah
Alicia mengalihkan pandangannya ke arah bintang – bintang.(“Dari pada harus menyaksikan sebuah pergulatan kecil.” gerutunya kesal sambil cemberut. Ia sempat jengkel karena Alex dan Will main gulat – gulatan dan jika belum ada yang tercebur ke sungai, maka belum selesai. Tapi ia jengkel bukan karena itu, kalau salah satunya tercebur ke sungai, maka ia akan terkena ampas airnya. Karena sudah kedinginan dan sangat jengkel, maka ia bergumam tidak jelas. ).
“Sudah, ah! Hentikan pergulatan kecil kalian yang konyol itu! Basah, nih!” serunya.
“Kau jangan disitu. Lagi pula percuma saja bicara.” sergah Ray.
Carlos mengangguk – angguk sambil mengeringkan rambut pirangnya. Ray masih sibuk mengelap kacamatanya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas tanpa kacamatanya itu. Maklum, dia anak terpintar di sekolahan, jadi ia sering membaca buku pelajaran kapan juga. Lain halnya dengan Carlos, walaupun ia pintar, tetapi tidak lebih pintar dari Ray. Tetapi satu, dia paling jenius.
DENGAN SANGAT TERPAKSA Alicia menyaksikan pergulatan kecil – kecilan itu. Dan yang kalah adalah…keduanya! “Hebat, bukan!!!” seru Alicia kepada Carlos dan Ray. “Ini sangat mengasyikan! Bayangkan saja, tidak ada yang menang!!!” tambahnya kegirangan.
“Oke, oke, kalau hebat, akan kami ulangi.” balas Alex mengambil posisi dimana ia bersiap melawan Will.
“SUDAH HENTIKAN!!! KALIAN TAMBAH MEMBUATKU BASAH KUYUP, TAHU!!!!!!” seru Alicia.
“Kau sendiri yang memintanya.”
“Aku tidak meminta. Aku hanya menyindir kalian! Tahu tidak, sih!?” balas gadis berambut coklat itu.
Sekilas Alex menatapnya. Matanya yang biru itu terlihat tajam menatap mata hijau kebiruan milik Alicia. Lalu terlihat kilatan usil di mata biru Alex. Lalu ia tertawa kecil sambil menyeringai. Alicia membuang muka.
“Kalian ini. Dari dulu hobinya bertengkar terus. Tidak lelah, ya?” tutur Carlos heran.
“Tidak kok.” jawab Alex
“Apanya?” gumam Alicia.
Angin pada suasana gelap itu membuatnya tambah dingin. Ia celingukan, berharap menemukan sebuah tempat atau apapun. Dan terlihat! Ia melihat lubang besar di jarak yang cukup jauh. Tapi sepertinya bukan lubang biasa.
Alicia berlari kegirangan menuju lubang itu. Padahal pakaian dan rambutnya belum kering sama sekali(basah kembali karena Alex dan Will). Keempat temannya mengikuti.
“Kemana sih, si bawel itu lari?” ujar Alex sambil menyamakan langkahnya dengan Alicia yang berjalan setengah berlari di depannya.
Ray sudah memakai kacamatanya dengan posisi yang benar. Rambut pirang Carlos(pada dasarnya, rambutnya, Alex, Will dan Ray pirang. Dan keempatnya memakai pakaian koboi, kecuali sepatu, yang lengkap dengan topi. Kemeja, rompi dan celana serta garis topi berwarna sesuai warna kesukaan mereka.) sudah agak kering. Will berlari mengikuti Alicia sambil mentiriskan rompi merah-marunnya(milik Alex abu – abu, Ray merah, dan milik Carlos coklat). Sedangkan Alex masih sibuk menyamakan langkahnya dengan Alicia. Ia merunduk terus, dan akhirnya tidak melihat bahwa Alicia sudah berhenti. Sehingga ia menubruk Alicia dari belakang, disusul Carlos dan Ray. (Will yang paling belakang tidak ikut karena sudah lihat.)
“Hei, kau itu kalau mau berhenti bicara dulu, dong!” seru Alex memekkakan telinga Alicia. Will yang penasaran karena 4 temannya itu berhenti berjalan, akhirnya mendorong Ray. Dan berlanjut kepada Carlos, Alex, lalu…tentu saja Alicia! Dan tidak ada yang sadar kalau Alicia tepat berada 1 cm sebelum lubang besar itu! Akibatnya Alicia terdorong-jatuh dan masuk ke lubang yang gelap dan tak berdasar itu. Lalu, kaki kanan Alicia yang sebenarnya berada di belakang kaki kanan Alex sebelum jatuh, membuat Alex juga ikut jatuh ke lubang itu. Dan cepat – cepat tangan kiri Alex mencengkram lengan kiri Carlos, akibatnya Carlos juga ikut jatuh, dan jam tangan Ray yang dipakai di pergelangan tangan kiri milik Ray yang sejak bertubrukan tadi tersangkut di rompi coklat milik Carlos, jadinya, Ray juga ikut jatuh.
Tinggal Will yang tidak. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dialami oleh 4 sahabatnya itu. Akibatnya, tadi ia masih kaku. Lalu ia melongo ke dalam lubang itu. Kegelapannya memecah penglihatannya untuk melihat lebih jauh. Ia tidak mendengar sebuah suara benturan atau apapun. Lalu, DENGAN SANGAT NEKADNYA, ia menjatuhkan diri ke dalam lubang besar yang gelap itu.
Sesaat kemudian, ia merasakan kakinya menyentuh sesuatu. Dan ia jatuh disebuah tumpukan JERAMI. “Tempat apa ini? Kenapa ada jerami disini? Pantas aja aku tidak bisa mendengar bunyi benturan. Jatuhnya ternyata diatas jerami. Tetapi sepertinya lubang ini tidak dalam. Ini dasarnya, bukan?” pikirnya. Lalu mengadah. Tidak terlihat apa – apa, pikirnya. Ia menapakkan kakinya di dasar lubang itu. Dasar itu ternyata terbuat dari batu – batu besar yang sudah dibuat rata satu sama lain. Ia berjalan menelusuri lorong gelap. Dengan tanpa cahaya sedikit pun ia menelusurinya. Berharap menemukan 4 sahabatnya itu. Tapi tidak ada. Yang terlihat hanyalah kegelapan dan sayup – sayup terdengar suara “Tolong”.
Will mengabaikannya. Atau justru berharap bahwa itu salah satu suara teman – temannya. Tanpa berpikr panjang, ia berjalan ke arah suara. Yang membawanya untuk turun ke tangga yang kiranya sangat panjang. Tapi ia berpikir, ini kan dibawah tanah. Mau sampai kemana jika ia menuruni tangga itu.
Tapi suara itu semakin menjadi – menjadi. Berdengung dalam kepalanya. Seakan ia ada di sebelah sumber suara itu. Ia mengabaikannya. Tapi jauh dari lubuk hatinya, sisi lain dari dirinya itu mempertajam telinga sehingga dapat mendengar suara aneh itu dengan jelas. “Terdengar…Terdengar!! Itu suara salah satu dari mereka! Ah…tidak – tidak. Bukan itu bukan Alicia. Itu bukan suara seorang gadis. Tapi…suara itu lebih mirip, dengan…mereka bertiga.”. Pikirnya keras. Ia bimbang, mau turun tangga, atau tidak.
Tiba – tiba ia teringat dengan buku misterius. Andai saja buku itu ada pada genggamannya saat ini. Buku itu pasti akan menunjukan jalannya. Ia lalu teringat oleh Danny Chronwallx dan Ivonnie Mary Chronwallx. Lalu mengingat tingkah laku aneh mereka. Tiba – tiba dirinya mengingat “Dialoxmugs”. Lalu berpikir, apa gunanya mantra aneh itu? Lalu ia teringat oleh kunci yang keempat orang itu tunjukan padanya. Sepertinya tidak dikembalikan oleh Danny. Lalu ia duduk saja ditengah – tengah jalan sambil memutuskan kemana ia harus pergi.
Sesaat kemudian ia mendengar bunyi langkahan kaki. “Apa lagi ini?” pikirnya. Langkah kaki itu terdengar ragu. Lalu suara langkahan itu berubah menjadi suara lari. Will terus menunggu dalam kegelapan. Tidak ada setitik cahaya pun. Ia tidak bisa memandang apa – apa. Ia baru tahu bahwa ia bisa melihat tangga karena cahaya dari ponselnya di saku celananya. Lalu, akhirnya ia menyadari, bahwa, suara larian itu disertai jeritan anak perempuan.
“Alicia!?” teriak Will bergema ke seluruh penjuru ruangan.
“Will?” sebuah balasan kecil bergema juga. “Kaukah itu? Kau dimana?”
“Ya. Ini aku. Aku…nnggg…sepertinya…di dekat tangga. Kau bisa melihatnya?” jawab Will. Pelan pun juga bergema.
“Tangga? Oh ya, aku lihat. Yang kanan atau yang kiri?” jawab Alicia.
“Kanan? Kiri? Di sini cuma ada satu.” balas Will.
“Satu? Atau…apakah aku harus turun? Hei, Will, nyalakan ponselmu. Ada cahaya senternya, bukan?” balas Alicia.
Will menurutinya. Setelah berhasil menyalakan lampu senter dalam program pada ponselnya, ia menyoroti semua penjuru. Ternyata benar! Alicia di atas. Lalu Alicia bergegas turun. Sebenarnya, pada saat Will menyoroti Alicia, ada bayangan aneh bergerak – gerak di belakang Alicia. Tapi ia yakin itu bukan Alicia. Karena bayangan itu memiliki tanduk. Tetapi ia akan menyampaikannya pada Alicia saat ia sudah benar – benar turun. Kalau tidak, Alicia akan menjerit.
Bab 6:
Bayangan
Akhirnya Alicia sudah berada di sebelah Will.
“Hei, tahu tidak?” sahut Will pelan – pelan agar tidak bergema.
“Apa?” tanya Alicia
“Tadi, saat aku menyorotimu, aku melihat bayangan besar bertanduk di belakangmu.”
“Oh, mungkin kau salah lihat.” balas Alicia tenang.
“Ya sudah kalau tidak percaya.” tukas Will. Alicia meliriknya.
“Coba tadi kufoto.” ucap Will tiba – tiba.
“Untungnya tidak. Kau lihat 3 orang itu?” Alicia mengubah topik.
“Hmm…tunggu, tunggu! Diam sebentar!” seru Will.
Alicia memandangnya heran. Tetapi tetap menurut untuk diam.
“Kau dengar sesuatu?” tanya Will tiba – tiba.
“Jangan menakut – nakutiku!” balas Alicia tak acuh.
“Tidak! Tidak! Ini serius! Kau dengar kata – kata yang sayup? Yaitu ‘tolong’?” tanya Will. Alicia diam. Lambat sekali menelan air liurnya.
“Dengar.” ucapnya pasti. “Tapi…”
“Apa?” ujar Will.
“Suara siapa itu?” lanjut Alicia
“Mana kutahu! Tanya saja sendiri!” balas Will.
“Iya! Iya! Aku kan hanya ingin mengetes, kau tahu atau tidak!? Hanya itu saja.” jawab Alicia cemberut. “Tapi, kalau didengar lebih dalam…sepertinya…antara 3 orang itu ya…?”
“Aku juga berpikir begitu tadi. Tapi…omong-omong…kau masih tetap basah? Rasanya sejak aku dan Alex membuatmu basah terakhir kali tidak sampai seperti ini…” ujar Will heran sambil menatap Alicia.
“Kau tidak akan percaya dimana aku tercebur untuk pertama kalinya di dalam sini.” jawab Alicia kesal sambil tambah memanyunkan mulutnya. Will memandanginya. “Di mana memang?” tanyanya. Walaupun sepertinya Alicia terlihat agak enggan mengatakannya, tapi ia sudah membuka mulut. Tetapi…”Hei! Kalian!” seru seseorang yang ternyata adalah, “Carlos!” seru Alicia dan Will serempak sambil berbalik. “Dari sebelah mana kau?” tanya Will. “Sepertinya sih, dari arah belakangku. Aku tidak bisa berbalik lagi karena gelap. Tidak terlihat apa – apa.” jawab Carlos. Kalian lihat Ray dan Alex?” tambahnya. Alicia menggeleng. Will masih serius dengan suara ‘tolong’ itu. Ia yakin suara itu bukan Carlos. Karena suara itu masih sayup – sayup terdengar. Tapi, semakin lama suara itu didengar, ia semakin yakin, bahwa itu bukan suara Ray ataupun Alex, tapi lebih mirip dengan…Nick Chronwallx! Tadinya ia pikir ini gila. Nick Chronwallx sudah meninggal! Kejadian itu pun sudah hampir 1 abad! Tapi tidak ragu lagi, ini adalah suara orang itu! Suara yang mirip saat ia menyaksikan cuplikan video tentang Nick Chronwallx.
“Apa kalian tidak dengar?” suaranya menjadi sedikit menyeramkan bagi Alicia.
“Apa maksudmu, Will?” balas Carlos. Will menatap keduanya. Berharap supaya saat ia mengatakan filsafatnya, mereka tidak menganggapnya gila.
“Kalian pernah dengar suara Nick Chronwallx?” tutur Will ragu.
Keduanya menggeleng. Lalu berpandangan.
“Seperti inilah suaranya.” lanjut Will sambil memicingkan matanya ke arah tangga dimana ia mendengar sayup – sayup kata ‘tolong’.
“Dari mana kau tahu?” tanya Alicia yang sudah merinding. Carlos yang sangat heran memandang Will sesaat. Lalu kepada Alicia. Lalu arah dimana mata Will berhenti. “Ada apa dengan tangga itu?” pikirnya heran. Alicia yang melihat Carlos menatap heran ke arah tangga dalam kegelapan berkata, “Oh ya. Carlos belum tahu ya?” tanyanya pada Will sekaligus Carlos. Tetapi Will mengabaikannya. “Apa?” sambung Carlos. “Kau dengar suara ‘tolong’ yang sayup – sayup?” tanya Alicia. “Dari bawah tangga sana.” Jari jempol Alicia menunjuk pada arah kegelapan yang lebih gelap. Carlos terdiam sebentar. Lalu mengangguk pada Alicia. “Maksudnya itu yang dia anggap suara Nick Chronwallx?” tanya Carlos. Alicia mengangguk. “Yang benar saja.” gumamnya sambil melihat kembali ke tangga itu. Disertai Alicia. Mata mereka bertiga menerawang dalam gelap.
“Tapi…sepertinya kau tidak sebasah itu tadi…” ucap Carlos sambil melihat pakaian Alicia yang SEPERTINYA tambah basah. “Oh. Kau tidak akan percaya dimana aku jatuh.” jawab Alicia. “Dimana?” “Di sebuah danau kecil dalam gua. Dan saat aku menepi, aku berada disebelah sesuatu, seperti…hewan besar yang buas. Entah naga, dinosaurus, atau apapun……”. jawab Alicia. Will menoleh padanya. “Dia hidup?” tanya Carlos. “Dia sempat bernapas.” jawab Alicia sambil kembali memandang tangga. Carlos dan Will berpandangan tidak percaya. Walau Will sempat merasa terganggu oleh kepala Alicia yang berada di tengah – tengah keduanya. Yah, mungkin tinggi Alicia dengan dirinya, Carlos, Alex dan Ray hanya beda sekitar 5 cm(tingginya, Carlos, Alex dan Ray sama semua, 160 cm, sedangkan Alicia 155 cm).
“Oh ya. Satu lagi. Ada bekas rantai leher disampingnya. Dan rantai itu hancur. Sepertinya dia memberontak saat dirantai.” lanjut Alicia. Will dan Carlos memandangnya. “Oke. Kuakui. Makhluk itu sepertinya naga.” tambah Alicia. Will dan Carlos bertatapan kembali.
“Naga? Di tempat seperti ini?”
“Sangat tidak masuk akal.”
“Tapi memang betul, kok. Aku terkena napas panasnya.”
“Naga betulan?”
“Apa maksudmu?”
“Maksudnya, naga asli atau gabungan hewan lain?”
Alicia menunjukan wajah herannya.
“Ya sudahlah kalau dia tidak mengerti. Kalau kita bertemu dengan hewan itu, ya lihat saja nanti.” sela Carlos.
“Apa? Bertemu? Tidak! Tidak! Aku sudah kapok bertemu satu kali.” protes Alicia.
“Bagaimana dengan suara itu?” ucap Will tiba – tiba.
“Yang penting, kita temukan dulu Alex dan Ray.” balas Carlos.
“Tapi bagaimana mencari di tempat segelap ini?” tanya Alicia.
“Tunggu saja disini.”
“Memang mereka akan datang dengan sendirinya?” Mereka bertiga pun langsung meneriakan ‘Ray’ dan ‘Alex’ dengan sangat keras. Sementara itu, saat Will kembali menghidupkan cahaya senter dari ponselnya, ia melihat sesuatu yang bertanduk, kumis yang sangat panjang, sisik tebal, sayap yang lebar, ekor yang seperti halilintar, dan…seperti naga!
“Hei! Bill! Carl! Alic! Aku di sini!” seru seseorang mengejutkan. Lalu sesuatu yang dilihat Will tadi langsung hilang! Bukan bayangan! “Alex!” seru ketiganya.
“Sudah berapa kali kubilang, jangan panggil aku ALIC!” seru Alicia kesal.
“Aku tidak mau kau panggil Carl.” tambah Carlos.
Will diam saja. Dipanggil ‘Will’ atau ‘Bill’ tidak ada bedanya. Banyak kan yang punya nama William dipanggil Bill?
“Hei! Temuan baru! Aku menemukan sesuatu! Sangat bagus, lho! Tunggu! Mana Ray?!” teriak Alex bergema. Will masih mendengar suara sayup – sayup itu. Dan tandanya bukan Alex.
“Apa yang kau temukan?” tanya Will.
“Sesuatu yang sangat aneh dan besar! Lihat sini! Ayo! Cepat!” suruh Alex yang langkahnya masih jauh dengan mereka bertiga. Will menduga – duga jangan – jangan itu adalah ‘sesuatu’ yang ia lihat tadi. Atau ‘sesuatu’ yang Alicia ceritakan. Lalu ia, Alicia dan Carlos pergi meninggalkan tangga itu. Tapi suara sayup – sayup ‘tolong’ masih terdengar di kepalanya. Berdengung seperti suara sekerumunan lebah yang mengelilingi sarangnya. Ia langsung mengabaikannya, dan suara itu malah tambah menjadi – jadi dalam kepalanya. Carlos dan Alicia masih terus mengoceh tentang “Jangan panggil aku Carl!” atau “Jangan panggil aku Alic!” Dan itu berhenti, ketika keduanya melihat sesuatu di belakang Alex.
Sesuatu yang SANGAT TIDAK MASUK AKAL.
Bersambung...